Alvin Chipmunk Nando

6.6K 1.3K 123
                                    

Aku masuk ke kamar dan langsung mengunci pintu. Ponsel sudah menempel di telinga untuk menghubungi Papa.

Perbaikan rumah di lantai dua beberapa minggu terakhir ini memang direncanakan Papa agar lantai dua bisa disewakan. Bukan tentang kekurangan uang tapi Papa bilang perkara rasa khawatirnya padaku karena tinggal sendirian. Dia berjanji akan memilihkan orang yang paling dia percaya di seluruh jagat raya ini. Tapi kok, yang dikirim Papa malah salin tempelnya Incubus!

"Papa!" teriakku begitu sambungan teleponku terhubung. "Kenapa yang nempatin lantai dua si Alva!"

"Lho, dia udah pindah hari ini?" Alih-alih meredakan kekesalanku, cara Papa bertanya malah terdengar seperti bukan masalah besar. "Padahal Papa udah ngasih tahu kalau suruh pindah minggu depan. Tukang yang bakal masang air panas baru bisa datang hari minggu."

"Tapi, Pa, Alva ini laki-laki!"

Terjeda cukup lama sebelum akhirnya dia mulai bicara lagi, "Kamu merasakan sesuatu pada Alva? Bukannya selama ini kamu cuman lihat dia kayak adik laki-laki."

MEMANG! Masalahnya bukan di aku, tapi di Alva. "Enggaklah!"

"Ya udah kalau gitu."

"Papa nggak mikir kebalikannya? Gimana kalau Alva yang naksir aku?"

Kembali ada jeda yang lama sebelum dia mengutarakan sebuah pikiran yang tak pernah kuduga sama sekali. Kurasa tiga tahun ini, Papa menahannya. "Ah nggak mungkin. Kamu kan tokoh antagonis buat keluarga besar Alva."

Papa belum lupa kejadian tiga tahun lalu.

"Meskipun Alva jarang menurut ke orang tuanya, dia masih nurut ke Alea sama Alvin, Letta Sayang."

"Pa, Alva ini bukan Alva yang seperti Papa kenal beberapa tahun lalu. Dia udah berubah."

"Memang Alva Satria Baja Hitam? Berubah segala." Dia menyebut acara anak-anak favoritnya.

"Tapi Pa ...."

"Pokoknya," putusnya keras kepala, "biarin dia di sana. Buat jagain kamu selama kamu belum punya pasangan."

"Suruh satpam di rumah aja."

"Kita kan udah kenal Alva dari lama, Letta. Dia pasti jagain kamu kayak dia jagain Alea." Embusan napas panjangnya terdengar sebelum kegaduhan kecil terdengar, "Udah dulu Lett, ada Mama kamu." Sambungan diputus cepat. Papa masih melanjutkan fungsi dirinya sebagai pihak netral antara aku dan Mama. Namun entah mengapa aku merasa dia enggan mendengarkan keluhan yang baginya sangat tidak masuk akal.

Tubuhku meninggalkan ranjang saat terdengar suara Alva dari luar. Menyambar bra lalu memakainya cepat sebelum menghentikan ketukannya pada pintu kamarku.

"APA?" bentakku begitu pintu terbuka. hanya kepalaku yang melongok keluar.

"Udah makan belum?"

"Udah."

"Tapi aku laper."

"Ya terus? Aku harus nyariin kamu makan? Aku bukan baby sitter kamu, Al."

"Keluarlah dulu dari dalam tempurung wahai anak katak."

"Nggak. Ada Incubus di sini."

Dua alisnya terangkat disusul senyum jemawa khasnya. Satu tangannya diangkat sampai atas kepala sebelum disandarkan pada tembok di atas pintu kamarku yang begitu mudah ia gapai. Padahal dulu tingginya tak berkembang sepesat ini. Harusnya aku dulu tak pernah menyemangatinya agar ikut klub voli. "Apa aku semenarik itu di mata seorang Violetta?"

Kan, dia memang bego. Harusnya tahu malu kalau sudah disamakan dengan iblis yang suka nidurin perempuan tapi dia malah berbangga. "Ketek kamu bau, Al."

THE REBEL WHO STOLE MY FIRST KISSOnde histórias criam vida. Descubra agora