Dikta

5.8K 1K 34
                                    

Hampir lima belas menit lamanya Alva mengikutiku bergerak. Dia seakan terikat tali tak kasat mata ke tubuhku. Dari lantai dua sampai turun ke lantai satu, dari sofa ruang tamu sampai duduk di kursi dapur. Sementara mulutnya tak berhenti menanyakan apa alasannya. Aku baru memutuskan untuk mengunci diri di kamar ketika suara gedoran pintu menyelamatkanku.

Fayra langsung masuk ke dalam rumah ketika pintu terbuka. Dia langsung mengoceh tanpa henti. "Aku dari kantor Kak Letta tahu nggak? Kenapa nggak bisa dihubungin dari tadi? HP kakak kemana? Ini urgent banget. Aku sampe harus pura-pura diare, bolak-balik ke toilet nggak berhenti biar bisa dapet cuti setengah hari."

Dia bicara tanpa jeda. Mengikutiku bergerak menuju kamar. "Maafin aku karena nggak langsung ngasih tahu perkara ini, tapi setelah banyak pertimbangan sepertinya kalian memang harus kembali rukun. Meskipun aku benci setengah mati sama si Biji-bijian tapi kayaknya kalian harus meluruskan masalah tiga tahun lalu."

Langkahku terhenti. Satu-satunya manusia yang dipanggil biji-bijian oleh Fayra hanya teman baikku sejak zaman kami masih SMP. "Kita lagi bicarain Dikta?"

Fayra mengangguk setelah aku berputar menghadap dirinya. "Selama tiga tahun ini, meskipun komunikasi kalian putus, Dikta masih hubungin aku. Buat nanya kabar kakak gimana. Nah, kemarin malem dia ngasih tahu kalau nanti malem dia bakal pulang ke Indonesia dan dia minta Kak Letta buat jemput dia. Aku awalnya nggak pengen kalian kembali temenan karena menurutku dia tuh kasih efek buruk buat Kak Letta. Tapi sumpah, separuhnya bukan mauku."

Dahiku berkerut. "Separuhnya siapa?"

Bersamaan dengan munculnya Alva dari lantai dua, Fayra mengangkat tangannya. Menunjuk tepat ke muka Alva yang berjalan ke arah kami. "Separuhnya karena dia."

"Kenapa aku?" tanyanya sambil mengembalikan ponsel milikku.

"Jangan pura-pura nggak paham kamu, Al. Semalem bilang jangan kasih tahu Kak Letta."

"Perkara jemput Pengaruh Buruk buat Lettaku tersayang?" tanya Alva sambil melipat tangan di dada. "Jemput aja, nggak apa-apa."

Aku bisa melihat dengan jelas kalau Fayra mengangkat alisnya tinggi. Heran dengan jawaban Alva. "Dih, dih, dih. Ngapa dia jadi over pede sih? Nggak inget semalem Mas Bro? Yang galau menjijikkan?"

Alva tertawa menghina. "Kapan? Hubungan aku dan Letta jauh lebih kuat daripada yang kamu bayangin, Bro." dia kemudian berdiri di sisiku lalu tanpa permisi mengusap lembut puncak kepalaku. "Iya, kan, Sayang?"

"Apa terjadi sesuatu di antara kalian sebelum aku datang?" tanya Fayra, menyipitkan mata curiga.

Kejadian 20 menit lalu menyergap pikiranku namun dengan segera kuusir pergi. Tidak, Letta, itu hanya kesalahan selama sedetik. Lagipula, aku tadi tidak membalasnya. Itu hanya gerakan spontan bibirku saja. Tahu kan rasanya kalau tiba-tiba bibir kita dihinggapi lalat dan secara spontan berkedut karena kaget. Nah, kasusnya sama.

"Jadi, jam berapa kita jemput Dikta?" tanyaku setelah menjauhkan diri dari Alva.

==

Kami berkendara ke Bandara menaiki mobil Fayra. Alva memegang kemudi, Fayra duduk di sebelahnya sedangkan aku duduk di bangku belakang. Sementara aku diam saja dengan pikiran berkecamuk, dua ekstrovert di depanku tak berhenti bicara. Terutama Fayra. Ada saja bahan yang dia ocehkan.

"Meskipun aku izinin Kak Letta jemput Dikta, nggak berarti aku nggak benci cinta pertama kamu ya, Kak. Biji-bijian itu di mataku selalu jadi pusat masalah buat Kakak."

Aku memiringkan kepala untuk mengolah informasi barusan. Maksudku, ini sudah puluhan tahun sejak tuduhannya tentang cinta pertamaku. Bagaimana mungkin dia masih memegang kepercayaan bahwa Dikta adalah orangnya?

THE REBEL WHO STOLE MY FIRST KISSWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu