Dirty Flirty (1)

6.1K 1.1K 62
                                    

Alva memberontak. Tak hanya melanggar semua batasan yang kubuat untuknya, dia mulai berani bertindak. Kalau kemarin-kemarin dia hanya berani berada di sekitaranku, hari-hari ini dia menempeliku. Seakan menggantikan para malaikat yang mencatat amalan hidupku.

Contohnya pagi ini. Aku tengah menikmati sarapan pagiku. Secangkir kopi hitam dan roti dengan selai nanas. Harapan bahwa bisa sarapan dengan ketenangan tak terwujud karena Alva muncul semenit kemudian, saat kopiku baru terteguk dua kali dan roti berselai nanas masih kumakan segigit.

"Selamat pagi, Lettaku," sapa Alva yang tahu-tahu sudah berada di belakang kursi yang kududuki. Membisikkan sapaan yang terlalu dekat dengan indra pendengaran sampai bisa kurasakan napasnya menabrak daun telingaku.

"Kak Letta. Bukan Letta, Let, atau Lettaku," protesku sambil menjauhkan kepalaku dari Alva.

Dia memberiku cengiran khas bocah badung sebelum menarik kursi di sebelahku dan duduk di sana. "Kalau nggak suka dipanggil nama, gimana kalau dipanggil Sayang?"

"Alva!" bentakku.

"Iya, Sayang, kenapa?" tanyanya lemah lembut. Tak peduli pada bentakanku.

"Aku bisa buat kepala kamu menggelinding ke lantai," ancamku. Mengingatkan Alva bahwa aku masih bisa menggunakan teknik kendo yang pernah kupelajari untuk menghajarnya.

"Anyway," katanya seolah tak peduli dengan ancamanku, "kamu inget nggak sama anak-anak yang kapan hari minta tolong ambilin bola voli?"

"Nggak," jawabku cepat. Tak ingin meneruskan pembicaraan di antara kami. Aku juga mempercepat acara makanku. Memasukkan sebanyak mungkin roti ke dalam mulutku.

"Yang kamu nganga lebar terpesona lihat aku jump serve waktu itu," terangnya tanpa dosa. Memberikan informasi tambahan yang membuatku langsung tersedak. "Makanya kalo makan pelan-pelan," ucapnya menjeda sepersekian detik sebelum menambahkan panggilan, "Sayang."

Alva menepuk punggungku sampai batukku reda. Tangannya bergerak alamiah mengambil mug di meja dan mengisinya dengan air putih. Dia mengulurkan mug itu padaku. Tanpa disuruh, aku meneguknya segera.

"Sorry," kataku setelah batuk itu hilang. Aku berdiri, meninggalkan kursi makan yang sedari tadi kududuki. "Aku udah telat banget."

Alva langsung menangkap pergelangan tanganku sebelum aku bisa pergi dari hadapannya. "Tunggu dulu," cegahnya, "aku punya hadiah buat kamu."

"Nggak usah. Aku bisa beli hadiah buat diriku sendiri."

Bukannya melepaskan cekalan tangannya di pergelangan tanganku, dia malah menarikku ke dalam pelukannya. "Ini sedih banget, Let," bisiknya. "Kenapa kamu harus beli sendiri? Aku bakalan beliin hadiah buat kamu mulai sekarang."

Alva salah paham.

Harusnya dia paham bahwa penjelasanku tadi adalah bentuk dari penolakan. Aku tidak ingin diberi apapun olehnya. Bukan malah terdengar menyedihkan dan malah membuat tubuhku mulai nyaman dengan pelukannya.

Pelukan Alva urai sedetik kemudian. Dia bangkit dari duduknya sambil memberi peringatan yang jelas akan dia lakukan kalau aku berani melanggarnya. "Tunggu sebentar. Aku ambilin dulu hadiahnya. Kalau sampai kamu kabur dari sini, aku bakal seharian muncul di tempat kamu kerja, telanjang dada."

Jadi aku terpaku tolol di tempatku berdiri sementara otakku mendadak memikirkan Alva yang telanjang dada memenuhi pikiranku. Tak hanya saat dia berada di tempat kerja, tetapi juga saat dia hanya mengenakan handuk saja. Betapa tidak bergunanya kepalaku.

"Sayangku memang yang paling pintar," puji Alva setelah kembali dari lantai dua. Mengusap kepalaku sekali sebelum menyerahkan satu kantung plastik hitam untukku. "Mulai beberapa hari lalu, aku ngajarin anak-anak komplek sini main voli. Kalau kamu pengen gabung latihan, kamu bisa pakai hadiah dari aku."

"Emang aku kelihatan pengen main voli?" tanyaku setengah membentak. Selain tinggi badanku yang tak memadai, aku terlalu jompo untuk olahraga ini.

"Siapa tahu pengen nambah tinggi badan."

"Nggak!"

Alva menahan tawa sampai pundaknya bergetar. "Ya udah, pake aja pas nemenin aku ngajarin anak-anak. Biar kamu bisa lihat aku jump serve setiap hari."

"Kurang kerjaan banget."

Sayangnya, angan-angan tak sejalan dengan kenyataan. Hati dan pikiranku sudah mulai bekerjasama untuk memerhatikan Alva lebih lama. Jadi setiap kali melewati lapangan tempat Alva dan anak-anak perumahan latihan, kayuhan sepedaku otomatis memelan. Aku memerhatikan dari jalan. Melihat Alva dengan serius mengajari cara-cara bermain voli yang benar. Membuat kekaguman ini makin melekat kuat.

Aku benar-benar cari penyakit.

==

THE REBEL WHO STOLE MY FIRST KISSTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon