A Family

4.1K 723 49
                                    

"Aku pencet bel berkali-kali, gedor-gedor pintu kamar Alva juga. Nggak ada yang nyahut," jelas Fayra setelah selesai menyikat gigi. Tubuhnya terbalut kimono hotel. "Heran, kalian ke mana deh semalem. Check in di kamar lain atau gimana?"

Aku mengerucutkan bibir. Tidak tahu harus menjawab apa. Semalam aku di kamar Alva, tidak check in lagi di kamar lain. Tapi aku juga tidak mendengar gedoran dari luar pintu. Antara Fayra berbohong atau aku yang terlalu fokus pada Alva.

"Besok-besok kalo ngilang lagi, seenggaknya kabarin dulu. Jadi akunya nggak bingung cariin kalian berdua."

Aku sudah mandi, sudah berdandan rapi sejak setengah jam lalu. Hanya menunggu Fayra selesai mengerjakan kegiatannya. Rencana kami untuk jalan-jalan pagi menikmati pemandangan gagal karena aku tidak bisa bangun pagi. Terlalu lelap tidur. Sebenarnya acara girltime kami sudah gagal total sejak awal. Tujuan awalnya sudah berubah jadi acara double date.

"Pacarmu tuh, Kak," celatuk Fayra saat bel pintu kamar terdengar. Dia sedang berganti pakaian. Mengenakan sweatshirt dan celana jins.

Aku melangkah meninggalkan ranjang. "Dek, dicariin calon suami kamu nih," teriakku saat tahu Dikta yang berada di balik pintu. "Masuk, Ta." Aku membuka lebar pintu agar Dikta masuk ke dalam, sementara suara gedubrakan terdengar dari belakangku. Fayra sepertinya terburu-buru masuk ke kamar mandi. Siapa suruh ganti baju di sembarang tempat.

"Aku tunggu di lobi aja, Let," katanya, menolak undanganku.

"Yakin kamu? Fayra kalo dandan lama. Masuk aja dulu, biar dia cepet-cepet dandannya."

Jawaban dari Dikta sepertinya tak jadi terucap karena Alva tahu-tahu muncul lalu memelukku. Menerobos melewati Dikta. "Selamat pagi, Sayangku," katanya sambil mencium salah satu pipiku.

Tak peduli pada pelototan mataku, tak peduli pada Dikta yang menganga kaget. "Masuk, Bro. Fayra kalo dandan seabad."

Tanpa melepas pelukannya, Alva masuk ke dalam kamar yang kutempati. Menyeretku bersamanya, tak memedulikan Dikta yang kikuk di luar kamar.

"Ini sepatu kamu," ucap Alva sambil mengeluarkan sepatu yang sebelumnya kutinggalkan di kamarnya. "Sisanya baju kamu," lanjutnya sambil berbisik. Membuat tanganku spontan menepuk mulutnya. Aku sudah tahu apa isinya, tak perlu diperjelas.

Baju-baju itu berpindah ke tas yang kemarin kudapat dari belanja pakaian. Bercampur dengan pakaian kotor yang lain. Aku duduk di ujung ranjang setelahnya, memakai sepatu yang tadi dibawakan Alva.

Tak butuh waktu lama untuk Alva melempar tubuhnya ke ranjang. Telentang di dekatku duduk. Satu tangannya mengular ke perutku sementara tangan satunya sibuk menggulir layar ponsel.

Aku sudah memberinya cubitan berkali-kali ke lengannya, namun tangan Alva tak sedikitpun bergeser dari perutku. Dia tak peduli bahwa Dikta telah berada di depan kami dan duduk di salah satu kursi.

Repot memang kalau berurusan dengan pria yang suka melanggar aturan, keras kepala, berbahasa cinta sentuhan fisik, dengan status sebagai pacar.

Menyerah dengan tangan Alva, sepasang mataku melihat ke Dikta. Berusaha terlihat tidak terganggu dengan mengalihkan fokus ke tema lain. "Omong-omong, Ta, gimana acara kalian semalem?" tanyaku dengan suara rendah.

"Kamu kenapa bisik-bisik?" tanya Alva yang langsung membuatku memberinya tanda telunjuk di mulut. Menyuruh menjaga suaranya agar pelan.

Aku menunjuk kamar mandi dengan dagu. "Nanti Fay marah," terangku sambil membuat tanda tanduk di kepala.

"Lebih ke bahas hubungan kalian berdua," terang Dikta dengan suara rendah namun membuatku meloncat meninggalkan ujung ranjang sambil berusaha menendang tulang kering Dikta.

THE REBEL WHO STOLE MY FIRST KISSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang