Sampai Akhirnya Muak Satu Sama Lain

3.5K 762 67
                                    

Seluruh tubuhku gemetaran. Dari awal melangkah keluar dari tempat kursus sampai masuk ke dalam taksi daring. Tangisku pecah saat mobil telah keluar ke jalanan utama.

Kupikir, aku sudah tidak apa-apa. Sudah tiga tahun berlalu dan sudah ada Alva yang mengisi hari-hariku. Tapi saat melihat Alvin dan Raisa dengan tambahan balita mereka sekaligus, gulungan emosi yang bergerak bagai tsunami, menghantamku.

Aku terpaku, tidak bisa berkata-kata. Hanya bisa berbalik lalu kabur. Sama seperti dulu. Tidak bisa mengonfrontasi langsung. Tidak bisa menghadapinya dengan elegan. Aku kembali jadi pengecut yang sama.

"Violetta?" Mama terdengar kaget saat aku menerobos masuk ke dalam rumahnya.

Aku tidak pulang ke rumah, memutuskan untuk singgah di rumah Mama sampai emosi yang bercampur aduk dalam diriku surut. Aku tidak ingin menangis dihadapan Alva. Tidak ingin membawa diriku yang masih bergelung dengan emosi, berada dihadapan Alva.

"Kamu pulang?" Mama mengekoriku. Bertanya dengan suara yang terdengar antusias. "Ada masalah atau gimana? Atau berantem sama Alva?"

Fayra sepertinya tidak menceritakan bagaimana perkembangan hubunganku dengan Alva karena pertanyaan Mama barusan seolah terdengar bahwa aku sebal pada tingkah laku adik lelakiku. "Nggak ada apa-apa, Ma," kataku sambil membuka pintu kamar.

"Ya sudah, kamu istirahat aja. Jangan dikunci pintunya, Mama buatin teh kamomil buat kamu."

Pertikaian antara aku dan Mama seakan tidak pernah terjadi. Mama menyambutku hangat, aku sendiri seolah lupa dengan tindakan Mama saat menyeretku agar mengikuti acara marathon perjodohannya. Seolah hal itu hanya rentetan mimpi burukku yang lain.

Aku meringkuk di ranjang. Memeluk dua kakiku yang berhasil tidak lemah saat bertemu Alvin beserta keluarga kecilnya. Lalu kilasan demi kilasan kenangan mulai memenuhi kepalaku. Kejadian tiga tahun lalu, momen-momen saat aku masih bersama Alvin, kenangan demi kenangan saat Raisa ada di sana sebagai sahabat baik Alvin.

Gulungan emosi kembali menerjangku. Yang kini makin kupahami bahwa emosi yang kurasakan bukan seperti rasa terluka yang menyakitkan, namun lebih pada marah dan kecewa pada diriku sendiri. Yang kembali lari seperti pengecut. Yang tidak bisa menghadapi Alvin dan Raisa. Yang kemudian menjalar jadi rasa takut. Takut kehilangan Alva karena kejadian tiga tahun. Takut kami putus karena keluarga besarnya membenciku.

Sesal merayapi. Seandainya hari itu aku tidak lari dari altar. Jadi pemberani dan membongkar semuanya. Aku pasti tidak akan buruk di mata keluarga Alva.

==

Alva mendengkur halus di sofa ruang tamu ketika aku tiba di rumah. Dia bersedekap dengan ponsel dalam genggamannya. Kaki-kakinya yang panjang berada di sandaran kursi. Posisi tidurnya benar-benar tidak nyaman.

"Al," panggilku membangunkannya. Duduk di bagian sofa yang dekat dengan perutnya. Menepuk pelan lengan Alva. "Al, bangun." Aku menggoyang tubuhnya lebih keras.

Alva mengerjap. Dua matanya akhirnya terbuka. Senyumnya terlukis begitu melihatku. "Katanya kamu nginep di Mama kamu."

Beberapa jam lalu aku berkirim pesan dengan Alva. Bilang padanya bahwa aku akan tidur di rumah orang tuaku. Mengutarakan dua alasan penuh kebohongan yang dipercaya Alva begitu saja. "Nggak jadi. Nggak bisa tidur di sana."

Begitu minum teh kamomil buatan Mama, aku hanya bergelung di ranjang. Sementara pikiranku menjelajah pergi kemana-mana. Membayangkan Alvin dan Raisa lalu lari ke keluarga besar mereka. Membuat kepalaku mulai mengeluarkan kata sakral.

Andai ....

Andaikan aku dan Alva serius, betapa beratnya mendapat restu atas hubungan kami.

Andaikan aku dan Alva serius, aku akan jadi adik ipar Alvin.

THE REBEL WHO STOLE MY FIRST KISSUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum