Salah Langkah

4.4K 932 74
                                    

Tubuhku masih bergelung di dalam selimut. Masih mengumpulkan nyawa setelah terbangun tiba-tiba karena suara guntur. Pukul lima pagi saat aku mengintip ke layar ponsel untuk melihat waktu sekarang. Pelan-pelan aku coba menyusuri apa yang kumimpikan selama tidur sebelum akhirnya tubuhku secara tiba-tiba terduduk karena ingatan semalam bersama Alva.

“Jadi cinta pertama kamu bukan Dikta, tapi Alvin?” tanya Alva.

“Semacam itu.”

Setelah mendengar jawabanku, Alva malah tersenyum lebar. “Bagus,” ucapnya. Bukankah dia seharusnya mundur setelah mendengar semua ini? Kenapa reaksinya malah di luar ekspektasiku?

“Ba …, ba …, bagus?” aku mendadak gagap.

Alva mengangguk. “Lebih mudah bikin kamu lupain pecundang daripada bikin kamu jauhin sahabat baik kamu.” Napasnya terembus lega. Dia menatapku sebelum kembali bicara. “Sejak awal aku yakin memang Alvin biang masalahnya. Mulut Fayra yang bawa-bawa Dikta itu yang perlu ditepok.”

“Tunggu dulu, Al,” cegahku sebelum dia melanjutkan ocehan, “bukan Alvin yang bermasalah. Tapi aku. Aku yang ninggalin dia di acara pernikahan kami. Aku yang berbalik arah kayak Julia Robert di Runaway Bride. Kamu udah lihat videonya, kan? Gimana aku balik badan dan lari tunggang langgang dengan gaun pengantin yang masih aku pake? Ninggalin dia kayak orang bego di depan seluruh tamu undangan?”

Alva tergelak. “Sumpah itu lucu banget, Let.”

“Itu bencana, Alva. Kamu nih ngerti nggak sih?” aku mulai putus asa.
Maksudku, aku menceritakan perkara Dikta agar dia tak salah paham. Kemudian dia mengerti bahwa kejadian tiga tahun lalu, dikarenakan aku. Aku masalahnya. Aku biang onarnya. Tapi kenapa reaksi Alva malah seperti ini? Tahu begini, aku tak perlu menjelaskan semuanya. Biar dia mundur, biar aku terbebas dari perasaan campur aduk ini.

Suara guntur kembali terdengar setelah kilatan cahaya dua detik lalu. Membuyarkan lamunanku. Aku menjatuhkan wajah pada dua telapak tangan. Menyesal dengan keputusanku semalam.

Aku akhirnya bergerak meninggalkan ranjang. Butuh air mineral untuk memadamkan rasa haus. Saat pintu kamarku terbuka, aku sudah menemukan Alva sibuk di dapur. Ramai seperti minggu-minggu sebelum Dikta datang.

“Kok udah bangun?” tanyanya saat menoleh ke arahku. Sepertinya dia mendengar pintu kamar yang terbuka. Alva menghampiriku sambil membawa centong kayu. Otakku masih memproses situasi ini ketika Alva mendadak mencium keningku sambil menyapa, “Selamat pagi, Kesayanganku di seluruh alam semesta ini.”

“Kamu ngapain di dapur aku?”

“Buatin bubur ayam pacar aku dong ah. Lagi hujan sekarang.”

Tuhan yang Maha Bijaksana, apakah keputusanku kemarin untuk memberi tahunya tentang Dikta adalah salah? Apakah kemarin itu, aku salah langkah?

Kan nggak gini seharusnya!

==

Aku memilih berbagai pakaian bayi untuk hadiah kepulangan Tiara dari Rumah Sakit. Dari jumper sampai sleepsuit—ternyata ada banyak jenis dan sebutan untuk pakaian bayi, bahkan ada legging. Memilih untuk usia tiga sampai enam bulan, karena Tiara pasti sudah menyiapkan baju bayi yang ukuran nol sampai tiga bulan. Kata pegawainya, usia nol sampai tiga bulan itu adalah pertumbuhan terpesat bayi, jadi sering kali pakaian tak bisa digunakan lagi.

“Kak, ini lucu.” Fayra menunjukkan dress pink yang baru saja dia ambil dari rak toko.

“Ini juga bagus.” Gantian Alva yang menunjukkan celana overall berwarna hitam.

Sejak sore tadi, duo sahabat ini mengikutiku. Yang satu stres karena Dikta hadir di tempatnya bekerja. Yang satu karena ingin menunjukkan ke seluruh dunia bahwa kami tak terpisahkan. Keduanya tak memikirkan bagaimana stresnya aku diikuti mereka sejak sejam lalu.

THE REBEL WHO STOLE MY FIRST KISSKde žijí příběhy. Začni objevovat