Pertemuan Pertama

9.6K 1.4K 70
                                    

Empat belas tahun sebelumnya....

Fayra duduk di sampingku. Kakinya yang menggantung di atas tanah bergerak mengayun di udara. Dia tengah menikmati es krim yang kubelikan. Jam pulang sekolahnya sudah selesai dua jam lalu, tetapi dia lanjut ikut ekstra kurikuler voli. Baru selesai sepuluh menit lalu.

"Fay, besok jangan lupa." Teriak segerombolan bocah lelaki yang menyapa adik perempuanku.

Dia melambai sekali sebelum membuat tanda oke dengan jari-jarinya. Berbeda denganku yang introvert, Fayra adalah ekstrovert sejati. Temannya di mana-mana. Entah kenal karena kegiatan bersepatu roda setiap akhir pekan atau dari tempat les-les yang pernah dia ikuti. Padahal usianya baru dua belas tahun. Baru masuk ke SMP sebulan lalu, tetapi temannya sudah segambreng.

Kalau Fayra ini ramah, lucu, random, banyak bicara, fleksibel pada keadaan apapun, aku kebalikannya. Aku tidak suka beramah tamah, tidak suka bercerita ngalor ngidul perkara gosip—aku lebih suka bicara pada diriku sendiri, dan tidak ingin fleksibel pada apapun yang membuatku tidak nyaman. Persamaan kami sebagai saudara hanya satu, vokal pada apapun yang menurut kami salah.

"Tumben Kak Letta jemput aku. Traktir eskrim pula. Mau memanfaatkan aku jadi apa kali ini? Tapi jangan di atas setengah tujuh malem ya. Aku nanti ada les. Jadwalku hari ini yang free cuman sore. Kalau nggak urgensi sih, lusa aku bebas. Jadi gimana?"

Aku mengembuskan napas tanpa sadar. Masih penasaran bagaimana bocah perempuan satu ini bisa bicara begitu panjang hanya dengan sekali tarikan napas. "Nggak mau nyuruh kok."

Alis Fayra terangkat tinggi seakan bisa mengucapkan kata tumben. Dia kemudian terkesiap dengan dua mata membelalak. "Jangan bilang kalau Papa pulang!"

Pertanyaan sekaligus pernyataan itu seketika membuatku menatap sungguh-sungguh padanya. Tak berjeda bahkan tak berani berkedip. Entah kenapa aku merasa bisa membaca isi pikirannya.

Fayra mengedikkan bahu. Seakan itu hal yang wajar. "Aku udah remaja, Kak Letta. Udah SMP. Aku jelas ngerti apa yang mama sama papa lakuin. Nggak perlu syok gitu napa."

"Kamu pernah dengar mereka ribut?"

Kepala Fayra miring ke samping. Menatapku dengan wajah heran, "Kok ribut sih, Kak Letta? Mama dan papa kan saling melepas ..., aduh Kak Letta!"

Aku spontan memukul mulut Fayra. Tak sadar. Hanya gara-gara tak ingin mendengar lanjutan omongannya. Dia masih dua belas tahun, aku tak ingin mendengarkan dia membicarakan perkara seks. Ya, benar. Kedua orang tuaku berbahasa cinta physical touch. Mereka suka saling menyentuh, juga tak sungkan-sungkan berciuman dihadapan anak-anaknya. Keduanya makin menjadi-jadi ketika papa buka cabang supermarket bangunan di kota sebelah. Pertemuan mereka yang hanya bisa terjadi sebulan sekali yang memperparah keadaan.

"Sakit, Kak Letta!"

"Siapa yang ngasih tahu?"

"Perkara—"

"Itu," potongku cepat.

"Temen aku kan banyak Kak Letta. Dari berbagai golongan juga berbagai usia. Aku pasti pernah dengar sekali dua kali. Banyak input yang masuk. Setelah aku saring, telaah, dan uraikan. Aku bisa ambil kesimpulan tentang mama dan papa yang tak saling melepaskan diri kalau ketemu." Dia kemudian melanjutkan makan es krimnya yang hampir meleleh seolah-olah tak terjadi apapun barusan.

"Jangan cari info di luar. Tanya kakak saja."

"Wow. Ogah deh." Fayra sudah menghabiskan eskrimnya. "Kita balik berapa lama lagi?"

"Sepuluh menit lagi. Atau lima belas."

"Aku lapar Kak Letta! Hari ini pelajarannya penuh sejak pagi. Tahu nggak apa yang paling parah? Semua pelajaran hari ini, satupun nggak ada yang aku suka. Energiku habis buat mikir rumus matematika."

THE REBEL WHO STOLE MY FIRST KISSWhere stories live. Discover now