Kutukan Ciuman Pertama

4.9K 831 45
                                    

Aku menatap pantulan diriku di cermin. Di sana, aku bisa melihat wajahku yang merah padam sementara aku bisa merasakan panas di seluruh tubuhku. Setiap kali mengingat kejadian tadi pagi, tubuhku bereaksi berlebihan. Mendadak terasa gerah, jantung berdebar-debar, dan kehilangan fokus secara tiba-tiba.

Enam tahun lamanya aku pacaran dengan Alvin, tetapi dia tak pernah menciumku seperti ini. Um, lebih tepatnya, aku yang tidak siap diciumi Alvin seperti itu. Bayangan Alva selalu muncul setiap kali aku dan Alvin mulai intim. Kata-katanya hari itu, seperti kutukan.

Kejadiannya saat aku masih berusia 22 tahun dan aku masih ingat detailnya dengan jelas di kepala. Bagaimana kutukan itu di mulai.

“Kak Letta, beneran bakal traktir kita makan di hotel?” tanya Fayra hari itu. Dia maju setelah Alva mendorong sahabatnya supaya mengulangi kata-kataku.

Pagi itu, saat Alva dan Fayra tengah sibuk di halaman depan merencanakan perkara permak motor, aku memberi pengumuman. Mengajak mereka untuk makan sepuasnya di hotel bintang lima. Hadiah untuk keberhasilan mereka karena berhasil lulus dari sekolah menengah atas tanpa banyak drama. Ucapan selamat karena dua bocah itu akhirnya menggunakan otaknya untuk lolos dari ujian akademis.

“Beneran. Makan di hotel bintang lima. Kalian mau buffet apa fine dining?” tanyaku.

Fine dining yang mahal itu?” sepasang mata Fayra berkilat antusias. “Kak Letta bakal traktir kita di sana?” meskipun keluarga kami berkecukupan, makan makanan mahal bukan bagian dari kebiasaan yang dilakukan keluarga kami. Kami senang-senang saja makan makanan enak tapi tidak akan menghabiskan puluhan juta hanya untuk sebuah makan malam keluarga.

Aku mengangguk. Sejak masih sekolah, aku memang sering membantu bekerja di toko Bangun Megah. Duduk di bangku kasir dari sepulang sekolah sampai sore. Mendapat bayaran setengah hari dan bayaran penuh saat akhir pekan. Uang itu masuk ke rekeningku tanpa pernah kugunakan. Jadi uang itu akan kugunakan untuk memberi mereka makan di tempat mahal.

“Nggak kenyang. Buffet aja,” tolak Alva. Tak mau diajak ke restoran mahal. Sampai saat itu, aku tak tahu bahwa penolakannya bukan karena tidak ingin, tetapi karena tak ingin uangku dihabiskan olehnya dan Fayra. Kalau dipikir-pikir, tingkahnya sangat manis untuk bocah yang masih berusia tujuh belas tahun.

“Pasti kenyang. Meskipun porsinya kecil-kecil, ada banyak yang disuguhin. Kak Letta tahu nggak, hotel bintang lima yang sejalur sama jalan ke toko utama Bangun Megah? Aku denger di sana nyajiin sampe tiga puluh dua menu. Pasti kenyang, Al.”

“Apa coba ke sana? Kalau kalian oke, aku bisa reservasi sekarang.”

Alva berdiri dari tempatnya duduk. “Nggak usah Kak Letta, buffet aja. Nggak usah repot-repot reservasi.”

“Nggak bakal berkesan deh kalau cuman buffet. Ini tuh penting karena kalian akhirnya memfungsikan otak kalian dengan benar.”

Fayra berdecak mendengarkan celaanku. “Mulut setannya nyembur. Otak kita berdua baik-baik aja, Kak Letta.”

“Aku reservasi dulu,” terangku beranjak masuk ke rumah. Pertama aku akan menghubungi hotel yang disarankan Fayra. Dia pasti senang bisa makan 32 menu. Kalau tidak bisa reservasi di sana, aku akan memilih hotel terdekat dari rumah.

“Fay,” panggilku lima belas menit kemudian. Menghampiri Fayra yang masih di halaman depan namun tema pembicaraannya dengan Alva sudah berganti. Dari perkara motor jadi perkara makan di restoran. “Kakak udah reservasi di hotel yang menunya ada 32, nanti malem jam tujuh.”

Lima jam kemudian, kami bertiga duduk di kursi restoran yang berada di lantai dua. Fayra yang biasanya mengenakan pakaian yang cenderung membuat dirinya terlihat tomboy, malam ini menggunakan terusan sepanjang lutut bercorak bunga-bunga besar yang cocok dengan sneaker Nike kesayangannya. Ingat betul bagaimana Alva mengomentari temannya. “Weh, jadi perempuan.”

THE REBEL WHO STOLE MY FIRST KISSWhere stories live. Discover now