Dead Serious (1)

6K 1.1K 34
                                    

"Kenapa nggak telepon sendiri sih, Pa?" tanyaku begitu sambungan telepon terhubung. Aku sedang bersiap-siap pulang dan Papa menelepon agar aku menyampaikan pesan yang barusan diocehkannya.

"Papa nggak ada nomor telepon si Alva," terangnya dari seberang.

"Bohong." Tidak masuk akal karena dia yang menyewakan lantai dua rumahku untuk Alva. Mana mungkin setelah mereka bertemu dan saling melepas rindu, keduanya tak saling tukar nomor telepon. Ponsel sudah jadi bagian dari kehidupan sekarang ini.

"Saking asiknya ngobrol karena nggak pernah ketemu dia selama tiga tahun, Letta Sayang."

"Nggak masuk akal, Pa."

"Pokoknya sampein aja pesan papa. Suruh dia periksa mesin hidrolik di bengkel punya Fayra. Ngecek dua mesin apa masih bagus. Nanti kasih nomor Papa ke Alva."

Kupikir pembicaraan ini sudah selesai, tetapi Papa masih melanjutkan obrolan telepon kami. Menanyakan bagaimana kabarku setelah Alva tinggal di lantai dua.

Jadi aku menceritakan bagaimana kelakuan Alva selama tinggal di lantai dua. Keluhannya tak bisa kuungkap terlalu banyak karena kelakuan negatif Alva—perkara hubungan kami dalam khayalannya—tidak masuk akal jika didengarkan oleh Papa. Aku juga memberi tahu Papa tentang kepandaian Alva memasak. Tema yang langsung membuat Papa ingat bagaimana Alva yang dulu anti pada acara memasak.

Obrolan kami usai saat aku sudah turun ke lantai satu. Saat aku didorong kembali ke lantai dua oleh Kak Fabian karena dia harus melaporkan semua biaya perbaikan salah satu armada transportasi yang telah masuk ke bengkel Fayra beberapa hari lalu. Agar Bangun Megah bisa langsung mencairkan dana pribadi milik Kak Fabian yang tadi dipakai untuk membayar biaya bengkel.

Fayra memang pekerja kantoran, tetapi dia juga punya bisnis lain yaitu bengkel. Ya, Fayra juga dapat separuh warisan dari orang tua Papa. Karena dia tak ingin terlibat dengan Bangun Megah, Fayra meminta sebagian warisannya digunakan untuk membangun bengkel beberapa tahun lalu. Meskipun begitu, sisa warisannya di Bangun Megah masih banyak. Kalau kami seumuran, aku yakin dia lebih kaya daripada aku.

"Tunai atau transfer, Kak Fabian?"

"Transfer aja, Lett."

Setelah menyelesaikan pembayaran, kami berdua meninggalkan ruko. Kak Fabian menaiki mobilnya menjauh dari deretan ruko sedangkan aku menuntun sepeda ke seberang jalan untuk menyampaikan pesan Papa untuk Alva. Aku lebih memilih bicara langsung, jadi kalau Alva menggila tinggal menendang tulang keringnya.

Pintu gesernya masih terbuka lebar. Pemandangan yang biasanya tampak sama saja dari lantai dua ruko tempatku bekerja ternyata berbeda ketika dilihat lebih dekat. Mesin las, ratusan lembar alumunium yang ditumpuk di dekat mesin hidrolik, dan berbagai macam peralatan lainnya yang membuat ruko ini terlihat seperti bengkel.

"Alvanya lagi di ruko sebelah, Kak," ucap salah seorang pegawai yang baru turun dari lantai dua. Membuka masker respirator dari salah satu merek yang mengisi sudut display di toko Bangun Megah. "Lewat sini, Kak Letta."

Melalui panggilan rekan kerja Alva padaku yang seolah-olah telah mengenalku sangat lama—padahal kami belum pernah saling mengenalkan diri satu sama lain—aku yakin Alva sering membawa-bawa namaku.

"Terima kasih," kataku setelah berada di dekat rekan kerja Alva. Aku sudah berdiri di depan pintu yang menghubungkan ke ruko sebelah. "Tapi," kataku sebelum mendorong pintu itu agar terbuka, "aku bukan pacarnya Alva."

Dua detik kami berpandangan kikuk sebelum akhirnya dia mengangguk. Seakan-akan hanya itu yang bisa diberikan sebagai reaksi. Aku mendorong pintu cepat-cepat bersamaan dengan rasa panas yang membakar wajahku. Mendadak merasa malu karena menjelaskan hubunganku dengan Alva yang mungkin tak ingin dia tahu. Jiwa introvertku jadi overthinking.

Untungnya suara dengung mesin hidrolik mengalihkan fokusku. Membuyarkan pikiranku yang berlebihan. Di seberang ruangan, Alva duduk di belakang mesin hidrolik. Dua telinganya tertutup headphone sementara satu tangannya berada di tuas mesin. Dia tengah mencetak sesuatu. Aku rasa berhubungan dengan segel drum yang kapan hari diceritakan pada Tiara.

"Tepuk aja pundaknya, Kak Letta." Kata satu suara. Rekan kerja Alva ternyata masih berdiri di tempatnya. "Hari ini si Rudi nggak masuk kerja, jadi Alva gantiin kerjaannya."

Aku tersenyum kikuk, "Makasih."

"Bilangin ke Alva, aku balik lebih dulu Mbak Letta." Dia berbalik meninggalkanku berdua saja dengan Alva setelah aku mengiakan permintaannya.

Ada banyak tumpukan kardus yang memenuhi ruangan ini sebelum aku sampai ke tempat Alva dan menggepuk pundaknya. Dahi Alva berkerut saat melihat ke arahku. Dia mematikan mesin hidrolik dan mengalungkan headphone ke lehernya. Sarung tangan kerja di tangan kanannya dilepas sebelum dia mencubit salah satu pipiku dengan keras.

"Sakit!" seruku sambil mencubit balik tangan Alva.

"Aku pikir setan penghuni ruko ini."

Kurang ajar, malah dikatain setan. "Enak aja setan."

"Ya makanya sering-sering ke sini biar nggak dianggap setan."

"Idih, buat apaan ke sini sering-sering."

"Pacaran dong." Alva menyengir badung seperti biasanya. "Mau ngajakin pulang bareng?"

Aku mencela dengan mataku. "Mau nyampein pesen Papa. Dia minta tolong supaya kamu periksa mesin hidrolik di bengkel Fayra."

"Rusak?"

Aku mengangkat bahu. Tidak tahu rusak atau hanya pemeliharaan saja. "Papa juga bilang suruh ngasih nomornya ke kamu."

Alva sudah mengeluarkan ponsel dari dalam saku ketika aku mengacak isi tasku mencari ponselku. Aku baru saja membuka kunci pola di ponsel dan dalam sepersekian detik benda itu telah berpindah ke tangan Alva. Jarinya bergerak cepat mengetik di layar.

"Balikin, Al!" Bersamaan dengan perintahku, ponsel Alva berdering. Senyumnya mengembang lebar.

"Kirim nomor Om Aryo ke nomorku, Lett," katanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel. Ekspresi wajahnya jelas kelihatan bahagia, entah karena apa.

Sedetik kemudian ponselku bergetar. Satu pesan dari nomor tak tersimpan muncul. Mengirimkan gambar kartun bergerak yang dengan alaynya memberi tanda hati. Di bawahnya ada pesan 'nomorku harus disimpan dengan nama Suami Tercinta' yang secara luar biasa mampu membuatku jengkel.

"Pertama, panggil Kak Letta. Kedua, jangan nyuruh orang tua seenak udel kamu sendiri ya, Al!"

Alva mengembuskan napas panjang, "Memang penting banget ya panggilan Kak buat kamu? Usia tuh cuman angka."

"Di Timur, usia nggak cuman angka. Ada formalitas, ada adab, ada sopan santun."

"Emang kalau kita nikah nanti, kamu masih ingin dipanggil Kak Letta?"

Rasanya urat nadi di kepalaku berdenyut keras karena ucapan Alva barusan. Padahal beberapa hari ini kegilaannya jarang muncul. Apa karena hari ini aku muncul di tempatnya kerja? Jadi dia berimajinasi tidak masuk akal tentang hubungan kami?

"Kamu nih kalau ngayal yang masuk akal dikit!" pekikku sambil melayangkan pukulan ke kepalanya. Aku lupa kalau sekarang dia sudah pandai menangkis seranganku. Tanganku sudah dalam genggaman Alva, kedua-duanya.

Tak hanya mencengkeram dua tanganku seperti di restoran waktu itu, Alva menambahkan gerakan memutar pada tubuhku hingga punggungku menempel pada dadanya.

"Wanna dance?" bisiknya.

Saat seperti ini, aku berharap punya kekuatan seperti Hulk agar bisa membanting Alva. "Dance mata kamu burem!" Aku hanya bisa mengumpatinya.

===

Ini ada yang sadar nggak sih kalau Alea pernah disebut-sebut di lapaknya Gama sama Vanda?

THE REBEL WHO STOLE MY FIRST KISSWhere stories live. Discover now