Setting The Boundaries

5.5K 1K 47
                                    

"Pa!" seruku begitu sambungan telepon terhubung. Aku menoleh ke belakang. Memastikan bahwa aku sudah jauh dari Alva. "Besok harus mulai buat tangga luar. Buat akses masuk ke lantai dua."

Aku melarikan diri dari Alva saat bocah itu menanyakan kenapa aku ternganga. Kepalaku sudah membayangkan bagaimana ekspresi jelekku yang terkagum-kagum melihat Alva. Aku merasa Alva sudah menangkap basah keterpukauanku. "Ini malu-maluin!"

"Malu-maluin kenapa?" tanya Papa di seberang.

"Aku lagi ngomong sama diriku sendiri, Pa." Aku mengembuskan napas panjang. "Tolong ya, Pa. Mulai besok bisa kan panggil orang buat kerjain lantai di luar?"

"Kan, Papa bilang juga apa kemarin. Dibikinin tangga luar sekalian soalnya kalau ditunda bakal antri lagi dua bulan. Sekarang minta ada tangga luar. Ya mana bisa?"

"Masih banyak tukang yang lain kan, Pa. Atau pilih saja salah satu kontraktor yang udah jadi langganan di Bangun Megah."

Bangun Megah memang banyak bekerjasama dengan para kontraktor untuk penyediaan material. Meskipun begitu, sejak zaman nenek masih aktif di toko, pengerjaan pembangunan rumah tetap dikerjakan para tukang ini. Tidak pernah sekalipun bekerja dengan kontraktor atau tukang bangunan yang lain.

Alasannya hasil kerjanya bagus, langganan sejak dahulu kala, dan yang terpenting mereka terpercaya. Pernah ada beberapa kasus kejahatan dengan korban orang-orang yang kami kenal dan sebagian besar pelakunya adalah para tukang baru yang mengerjakan pembangunan rumah mereka.

"Gimana kalau pesen tangga jadi aja, Pa?" Benar. Kalau pesan tangga jadi, itu sudah sepaket dengan pemasangan sekalian. Mereka tidak akan lama-lama berada di sini. Hanya akan mengukur sebelum pembuatan tangga dan kembali lagi di hari lainnya untuk pemasangan tangga.

"Nggak usah Letta," tolak Papa, "lagian kenapa sih mendadak mau bikin tangga luar? Alva ngambil semua isi kulkas kamu?" Aku benar-benar ikhlas kalau dia hanya merampok isi kulkasku.

"Iya." Papa tidak akan percaya kalau kubilang bahwa aku khawatir tentang perasaanku yang akan berubah untuk Alva. Menurut pandangannya, Alva akan selamanya kulihat sebagai seorang adik, seperti Fayra. Namun Papa salah. Aku selalu tahu setiap awalnya bagaimana hatiku akan menjatuhkan pilihan dan saat itu terjadi, aku tidak akan pernah melarikan diri.

"Tunggu aja dua bulan lagi," kata Papa seakan memberiku kekuatan agar bersabar, "oh iya, Alva pasti sudah transfer uang sewa lantai dua ke rekening kamu. Udah kamu cek?"

"Belum. Ya udah kalau gitu." Aku menyudahi telepon. Sejak mendapatkan ide untuk memesan tangga jadi, aku mulai merencanakan untuk memasangnya diam-diam. Tanpa sepengetahuan Papa. Toh ini rumahku. Kubeli dengan uangku sendiri sejak aku mengerti yang namanya bekerja.

"Let!" satu suara yang coba kuhindari, terdengar. Membuatku melonjak kaget. "Kenapa pulang lebih dulu? Udah gitu kenceng banget naik sepedanya." Alva menghampiriku.

Tanganku terangkat setinggi dada Alva untuk menghentikannya makin dekat. Aku ingin menghentikan apa yang kurasakan sekarang pada Alva sebelum semuanya terlambat.

"Mari kita buat batasnya. Kamu dan aku. Dengarkan baik-baik. Jangan panggil aku Letta atau Violetta. Panggil Kak Letta. Aku lebih tua lima tahun daripada kamu. Kamu di sini hanya sebagai penghuni di lantai dua. Jangan turun ke bawah untuk masak ataupun mandi. Semua keperluan di lantai dua sudah lengkap. Air panas bahkan dapur. Jadi kamu harus mandi di tempat kamu yang lantai dua pun perkara memasak. Jadiin lantai satu cuman akses buat kamu lewat ke lantai dua."

Aku melihat Alva diam tak merespon. Kurasa dia mengerti apa yang baru saja kukatakan. Diamnya seperti sebuah iya bagiku.

"Terima kasih kalau kamu ngerti."

THE REBEL WHO STOLE MY FIRST KISSWhere stories live. Discover now