Incubus

4.5K 827 99
                                    

“Jadi kenapa kita nggak pacaran? Kita udah ciuman. Bermenit-menit sampai hampir ke tahap selanjutnya.” Pertanyaan Alva barusan diucapkan dalam bisikan.

Tidak ada siapa-siapa di lantai dua tempatku kerja. Kak Fabian hari ini mengurusi pajak beberapa armada dan Gita setia di lantai satu tiap kali Alva datang berkunjung ke lantai dua. Dia sepertinya masih memproses bahwa orang yang dikenalnya ternyata adik dari seorang artis terkenal, Aleanora.

Jadi, bisa disimpulkan kalau Alva berbisik bukan karena dia tengah berusaha merahasiakan privasi kami, tetapi agar bisa menempelkan tubuhnya ke tubuhku. Selekat mungkin.

“Kamu bisa nggak duduknya agak jauhan. Gerah tau,” kataku sambil mendorong kursinya—yang demi Tuhan berat banget—menjauh.

“Lett, gimana? Kamu belum jawab tanyaku. Kita pacaran, kan?”

Memang perlu ya, dikonfirmasi? Alva sudah tahu bagaimana reaksiku padanya. Apa perlu diucapkan seperti bocah lima belas tahun yang baru pertama kali pacaran kemudian memberi tanda di kalender sebagai hari pertama jadian?

Aku baru saja memutuskan untuk memberitahunya seperti bocah yang puber pertama kali ketika dia mendadak mengatakan, “Kalau gitu, biarin aku pegang dada kamu. Aku mau beliin setelan pakaian dalam buat tambahan koleksi kamu.”

Spontan aku meraih salah satu ordner map di meja kerja untuk menempeleng kepala Alva. Aku benar-benar lupa kalau setengah jiwa Alva adalah incubus. Harus memikirkan ulang keputusanku untuk jadi pasangan Alva. Aku tidak akan pernah membiarkan diriku terjebak denganya dan hamil di luar nikah.

Ucapan manisnya setelah kami berciuman membuat jantungku menderu begitu hebatnya. Sampai lupa siapa yang sedang kuhadapi. “Kamu kok suka kekerasan setelah kita nggak ketemu dua minggu. Tapi ya….” Alva menggeser kursinya, menempel padaku lagi. Dia kemudian berbisik, “Aku nggak apa-apa sih jadi masokis selama masternya kamu. Aku pinter gonggong kok.”
Kan, mesumnya dia udah nggak dilevel manusia.

Perilaku Incubusnya tak berhenti sampai di hari itu saja ternyata saudara-saudara. Hari-hari berikutnya, ada saja idenya untuk mengungkapkan tingkat kecabulannya.

Dari hal yang paling sederhana seperti, “Let, ada noda di pipi kamu,” kemudian dia membelai lama di sana sampai membuat alasan kalau kepalanya pusing dan badannya menggigil. Hanya agar aku menyentuh dahinya untuk memeriksa suhu tubuhnya dan dia bisa menempatkan kepalanya di pangkuanku.

Atau seperti yang dia lakukan beberapa malam lalu. Saat pura-pura ketakutan karena mimpi buruk.

“Kenapa?” tanyaku saat kepala Alva melongok dari balik pintu.

Aku sudah berada di ranjang, bersandar di bantal yang kususun tinggi. Menikmati sedikit waktuku sebelum tidur. Menggulir aplikasi menonton film, memilih-milih film komedi romantis untuk kutonton.
“Aku barusan mimpi buruk,” katanya. Memasang wajah sendu yang jelas kelihatan dibuat-buat. “Aku takut.”

Sebuah keajaiban dunia seorang Alvarendra takut. Bahkan saat dia dirundung dan dihajar ramai-ramai oleh kakak kelasnya dulu kala, dia tak kelihatan takut. Sekarang dia takut hanya karena mimpi buruk.
Aku hendak mengusirnya saat dia tiba-tiba membuka lebar pintu kamar sambil memeluk bantal. “Ranjang kamu kan luas banget tuh, malam ini saja, aku tidur di samping kamu. Boleh kan?”

“Nggak.” Aku langsung memberi jawaban tegas.

Bagi Alva tidak artinya boleh dan boleh artinya lebih dari boleh. Intinya, dia berbuat sesuka hati sama seperti malam itu saat dia masuk begitu saja ke dalam kamar dan merebahkan badannya di sampingku.

“Kamu tuh nggak paham ya, artinya nggak itu nggak. Tidak. No. Penolakan.”

“Tahu.”

“Terus kenapa masih maksa masuk dan tidur di sini?”

THE REBEL WHO STOLE MY FIRST KISSWhere stories live. Discover now