Satu Dosa

6.8K 1.2K 52
                                    

Beberapa hari setelah kepindahan Alva ke rumahku, ternyata tak seburuk yang kubayangkan. Kalau dia sedang tidak gila, ada fungsinya juga manusia itu. Selain tukang masak gratis, Alva juga pandai mengganti lampu mati. Memanfaatkan tingginya dengan baik. Dia juga bisa mengimbangi obrolanku perkara film yang kebanyakan berada di genre komedi romantis. Cerita klise tapi tetap kusukai. Cerita yang tak mungkin ada di dunia nyata tapi tetap membuatku bahagia. Tambahan lain, dia juga mendengarkan keluhanku perkara pekerjaan. Dia hanya buruk dengan gombalannya, tetapi coba tebak. Kalau tak menghiraukan omongan gilanya, ada untungnya juga membiarkan dirinya tetap tinggal di lantai dua.

"Kenapa hari ini panas banget sih?" keluh Tiara sambil mengipas wajahnya dengan beberapa kertas dari meja. Padahal AC sudah menyala. Mungkin karena kehamilannya. "Kemaren-kemaren nggak sepanas ini."

"Lagi pancaroba, Ti. Cuacanya nggak bisa ditebak."

Terhitung tiga hari sejak kemarin, suhu di daerah ini turun beberapa derajat. Langit mendung namun tak hujan. Juga lebih berangin daripada biasanya. Tadi pagi bahkan masih berkabut dan suhunya lumayan dingin, menginjak pukul sembilan pagi matahari bersinar terlalu bersemangat. Berlanjut sampai pukul satu sekarang ini.

Aku membuka laci paling bawah meja kerjaku. Mengeluarkan sweater rajut dari sana. "Aku pakai ini, kamu turunin lagi suhu AC-nya. Ibu hamil prioritas utama."

Dia meninggalkan kursi kerjanya bersemangat. Menuju pojok ruangan tempat biasanya remote AC tersimpan. Belum juga menurunkan suhu ruangan, Tiara mendadak menyebut nama Tuhannya. "Kayaknya calon pacar kamu kepanasan, Let."

Aku keheranan begitu mata kami saling bertemu. Tahu siapa yang tengah dibicarakan Tiara, tetapi tidak mengerti maksud ucapannya.

"Sini," lambainya. Menyuruhku mendekat ke jendela, tempatnya mengintip Alva.

Kepalaku menggeleng cepat. Enggan meninggalkan kursi kerja sekaligus malas melihat tangkah Alva.

"Kamu nggak pengen lihat Alva yang lagi serius kerja? Aura bocilnya langsung ilang," jelasnya. Mencoba meyakinkan. Mengabaikan ocehan Tiara, aku kembali menghadap ke layar komputer.

Tiara jelas tidak menyerah karena dia masih melanjutkan ocehannya. "Dia lagi keluarin mesin hidrolik kecil. Kayaknya mau dikirim ke pemesan."

Tanganku berhenti mengetik. Terusik karena rasa penasaran. Ingin melihat mesin hidroliknya. Tiara harusnya bekerja di pemasaran bukan jadi akuntan. Mulutnya pandai membujuk. Aku sudah meninggalkan kursi dan berjalan ke arahnya. Mengintip Alva lewat jendela lantai dua ruko dan benar semua kata-kata Tiara.

Alva tengah memindahkan mesin hidrolik ke atas mobil pick up. Alva juga terlihat serius. Dia tidak cengengesan seperti biasanya. Dahinya berkerut-kerut karena mengangkat beban berat dari hidrolik. Tiara juga benar tentang Alva yang tengah kepanasan. Bocah itu hanya mengenakan celana jins sementara atasannya menghilang entah kemana. Dia bertelanjang dada, tanpa tahu malu.

"Pasangin AC deh Let ke ruko dia. Memang kamu suka badan calon cowok kamu dipelototin Mbak-Mbak karyawan toko sebelah?"

"Bagian mana sih yang bikin Mbak-Mbak toko sebelah sampai melototin dia. Biasa aja itu, Ti."

Tiara memandangku dengan cara yang aneh. Sedetik kemudian, dia menepuk agak keras ke lenganku. Satu tangannya berada di mulut. "Kamu udah lihat yang lebih luar biasa ya, Let?"

Aku melihatnya penuh cela.

"Apa aku salah?" tanyanya dengan ekspresi tanpa dosa. "Lihat deh, Let. Otot-otot perutnya. Otot bisepnya. Terbentuk karena kerja keras untuk menghidupimu."

Aku kembali melihat ke tempat Alva yang sekarang telah selesai mengangkat mesin hidrolik bersama dua pekerja yang lain. Bersedekap sambil memperhatikan Alva dengan seksama namun aku tidak merasakan apa-apa. Tidak merasa malu pun berdebar-debar.

THE REBEL WHO STOLE MY FIRST KISSحيث تعيش القصص. اكتشف الآن