Selisih

3.4K 759 60
                                    

Aku menatap cincin itu beberapa saat sebelum melepaskannya dari jari manisku. "Kamu nggak ngerasa kalau ini terlalu terburu-buru?"

Alva menggeleng. Kembali menikmati makan malamnya, seolah ajakannya menikah bukanlah hal yang serius. "Mau nunggu enam tahun dulu baru nikah?" tanya Alva, jelas-jelas menyindirku.

Enam tahun aku pacaran dengan Alvin. Enam tahun itu pula, tidak pernah ada ajakan menikah darinya. Kami setuju melangkah ke jenjang pernikahan karena aku yang merengek minta dinikahi. Bagian terlucunya, aku kabur sebelum mengucap sumpah setia.

"Tapi Al, kamu tahu akhir cerita kita bakal gimana, kan?"

Alva melepas kalung berliontin cincin itu. "Emang bayangan kamu gimana?"

Dia bertanya balik padaku. Membuat bingung menyerangku. "Kamu tahu sejarahnya gimana, Al. Kenapa masih tanya?"

Alva memakaikan cincin itu kembali ke jari manisku sambil menjelaskan, "Aku nggak butuh restu dari keluarga besarku. Kamu tahu bagaimana hubunganku dengan keluargaku, kan?"

Berminggu-minggu aku stres karena kelanjutan hubungan kami yang minim restu, tapi kata-katanya barusan terdengar begitu enteng. Entah aku harus marah atau gembira.

"Kamu dan keluarga kamu, lebih dari cukup buat aku." Dia menatapku selama beberapa saat. Senyumnya mengembang.

"Tapi nikah tanpa restu, rasanya berat banget, Al. Aku nggak mau disebut sebagai orang yang rebut kamu dari keluarga kami."

"Kata banyak orang, memutus hubungan toxic itu harus karena mereka merusak kesehatan mental. Kita udah putus hubungan dari orang-orang toxic tapi kamu malah pengen jalin hubungan baik lagi sama mereka?"

Di sini, di waktu ini, perbedaan usia kami terasa jelas. Cara berpikirku dan Alva mendadak jadi kelihatan jelas perbedaannya sekarang. Bagaimana pola pikirnya sebagai generasi sekarang. Begitu jomplang dengan pola pikirku yang menganggap restu adalah hal yang penting dan patut diperjuangkan.

"Ini bukan perkara toxic, Al. Ini perkara restu. Kamu mungkin benci sebagian keluarga kamu tapi masih ada Alea yang kamu sayang. Seenggaknya, menikah dengan restu dari dua belah pihak, akan meminimalisir masalah." Menikah dengan restu dari dua belah pihak saja, masalah selalu ada. Apa kabar yang tanpa restu?

"Dan kamu yakin jika restu kita dapat, mereka nggak bakal nambahin masalah dalam rumah tangga kita?"

"Kamu sendiri yakin, kalau menikah tanpa restu dari mereka bisa bikin kita lebih bahagia? Kamu yakin, keluarga kamu bakal diem aja dan nggak ganggu rumah tangga kita? Kamu yakin, Alea bakal terima aku apa adanya?"

"Ya udah, kumpul kebo aja sampe tua. Karena aku nggak bisa turutin mau kamu. Aku nggak suka mereka, aku juga nggak mau kamu diperlakukan buruk sama mereka."

"Ini kenapa dari awal aku nggak mau sama kamu. Nih contohnya, cara pandang kita beda 180 derajat. Capek tau debat tanpa ada jalan keluar." Aku mendorong piring menjauh dari hadapanku.

Tiba-tiba saja jadi malas makan karena perdebatan kami. Alva bersikukuh pada pendiriannya. Aku sendiri tak ingin mengikuti keinginan Alva. Kami sama-sama keras kepala. Perdebatan kami buntu, tidak ada solusi.

==

"Ini udah enak, Letta," terang Mama setelah mencicipi masakan buatanku. Hasil dari belajar berminggu-minggu pada Mama. Ulang tahun Alva seminggu lagi, namun gara-gara ajakannya menikah tanpa memikirkan restu, rasa-rasanya kami mulai berjarak sejak kejadian minggu lalu.

Aku memandangi jari manis yang kosong, tanpa cincin pemberian Alva. Memutuskan untuk tidak memakainya karena belum mendapatkan solusi perkara hubungan kami yang dibawa Alva ke tahap selanjutnya secara terburu-buru.

THE REBEL WHO STOLE MY FIRST KISSWhere stories live. Discover now