Break Up

3.8K 695 68
                                    

Aku melangkah melintasi ruangan. Tubuhku bergerak lebih dulu daripada otak. Semuanya lancar sampai semenit lalu, sebelum Alva menjatuhkan bom tepat dihadapan kedua orang tuaku tanpa keraguan.

"Keluar!" Aku mencengkeram pergelengan tangannya agar dia mengikutiku melangkah pergi dari ruang keluarga.

"Kamu nih kenapa sih? Mau bikin masalah baru atau gini memang cara berpikir kamu? Aku nggak bisa ngikutin pikiran kamu atau memang kamu selalu seenaknya sendiri?" tanyaku beruntun saat kami sudah berada di halaman depan. Berondongan tanya itu kulempar saat kami sudah berhenti di dekat mobil yang diparkir Dikta.

"Ya karena aku mau kita ke jenjang yang lebih serius. Yang ikatannya lebih kuat daripada pacaran."

"Tanpa nanya aku dulu? Langsung lamar ke orang tua aku?" pekikku tertahan. Aku bisa merasakan dua bola mataku melotot ke arah Alva

"Kan nggak besok juga nikahnya, Letta," jawabnya sabar. Seakan kelakuannya barusan bukan masalah besar. Hanya lamaran. Tidak perlu terlalu serius. Ya, kesannya seperti itu.

"Kan kamu juga bisa diskusi dulu sama aku, Al, kalau kamu mau lamar ke orang tua aku."

Alva mengembus napas panjang. "Kamu nggak bakal setuju."

"Kamu bener-bener kekanakan, Al. Kamu pikir hal kayak gini bisa dilakuin dengan entengnya? Kamu tuh kenapa sih jadi kayak gini?" Aku bisa dengar kalau suaraku mulai meninggi. Kesal karena polah tingkahnya.

"Kamu sebelum nanyain aku kenapa kayak gini, nggak lihat kelakuan kamu beberapa minggu ini ke aku?"

"Kenapa jadi lempar kesalahan ke aku?" Aku berdecak. Tidak menyangka akan menghadapi tingkah Alva yang seperti bocah.

"Kamu nggak ngerasa berubah? Perlu aku jelasin?" tanyanya. Aku merasa Alva sedang berusaha keras mengendalikan amarahnya. "Kamu yang selalu nolak aku, mendadak ngundang aku ...," dia maju selangkah lalu melanjut dengan suara yang lebih rendah, "tidur di kamar kamu. Setiap hari. Kita juga ...."

Kalimatnya tak berlanjut. Matanya bergerak seolah memindai apakah ada yang mendengarkan pembicaraan kami. "APA? JUGA APA?" bentakku padanya. Tidak bisa mengendalikan suaraku yang naik beberapa oktaf.

"Having sex. Hampir setiap malam," katanya dalam bisikan tertahan. "Bukan berarti aku nggak suka, tapi ini bukan Letta yang aku kenal."

Aku maju, jarak di antara kami benar-benar hilang. Kepalaku mendongak sebelum mengucapkan alasan lain pada Alva. "Aku udah peringatin kamu kalau aku clingy," jelasku dengan nada rendah.

Dua tangan Alva meraih ke lenganku. Dengan sedikit dorongan, tubuhku sudah mundur darinya. Kami berjarak sepanjang tangannya. Dia menatapku beberapa saat sebelum bicara. Nada suaranya rendah, tetapi terdengar jelas sampai gendang telingaku. "Cara kamu clingy nggak begini, Letta. Aku suka sama kamu sejak masih duduk di bangku sekolah. Aku tahu apa yang kamu suka, aku tahu setiap detailnya. Perilaku kamu selama beberapa minggu terakhir ini berubah drastis. Benerin kalau deduksiku salah."

Aku menelan ludah. Melepaskan jari-jari Alva dari dua lenganku. Menjawab tanpa berani melihat wajahnya. "Kamu salah."

Alva menggeleng. Dia mulai memijit pelipisnya. Satu tangannya yang lain bertolak pinggang. Aku bisa melihat kekesalan memenuhi dirinya. Untuk beberapa saat dia tetap berada di posisi seperti itu.

Hingga akhirnya embusan panjang napasnya terdengar. Matanya kembali menatap padaku. Dengan suara lirih bercampur putus asa, dia mengucap kalimat yang tidak pernah kuduga. "Cara kamu peduliin aku akhir-akhir ini kayak kamu bakal buang aku."

Kata-katanya membuat bagian dalam diriku terasa nyeri. Hantamannya terasa tepat ke kepalaku. Membuat tubuhku kaku di tempat yang sama dan membungkam ribuan kata di ujung lidahku.

THE REBEL WHO STOLE MY FIRST KISSWhere stories live. Discover now