Unapproved

3.6K 653 57
                                    

“Masih belum ada kabar dari Alvin?” tanyaku ketika kami makan siang di tempat makan yang dekat dengan area ruko. Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan kami, tetapi belum ada kabar dari mantan pacarku yang jahanam.

Alva yang tengah menghabiskan makan siangnya, menggeleng. “Pasti ngabarin. Ingat, uang adalah kelemahan Chipmunk.”

Aku mengembus napas panjang. Berbicara pada diri sendiri. “Kenapa bikin aku jatuh cinta sama Alva sih, Tuhan?”

Tak kusangka, gumaman pada diriku sendiri ternyata terdengar sampai telinganya. “Kamu jatuh cinta sama aku?” tanya Alva sambil menggeser badannya ke arahku. Tak lupa, satu tangannya merangkul. Dia tidak peduli kalau kami sedang berada di tempat umum.

Aku mendorong Alva menjauh. “Gerah. Sanaan kamu.” Bukan hanya karena kami berada di tempat umum, tetapi aku merasa cuaca telah berubah. Musim penghujan sudah selesai beberapa minggu lalu. Panas menyengat matahari tahun ini terasa begitu berbeda dari tahun-tahun sebelumnya—aku yakin ini efek dari pemanasan global. Kemarau kali ini terasa lebih gerah, membuat tubuh terasa lengket dan semuanya sangat mengganggu.

Alva merengut. “Nggak romantis deh, Mbaknya.”

Alih-alih menimpali Alva yang tidak terima, aku memilih bangkit dari bangku panjang yang kami duduki bersama. Pindah ke depan untuk membayar makan siang kami.
“Al,” kataku saat kami berjalan beriringan menyusuri trotoar yang mengantar kami ke ruko, “gimana kalau Alvin lunasin semua duit aku dan nggak ngasih restu?”

Selama tiga hari ini, aku berulang kali membahas tanya itu. Bagaimana jika Alvin tidak terpengaruh dan mengembalikan semua uang yang dia pinjam. Lebih memilih untuk menjauhi mantan pacar yang membuatnya tidak nyaman. Kemudian Alva menjawab dengan kata-kata yang tak jauh beda dari hari-hari sebelumnya.

“Nggak bakalan dia rela lepasin uang segitu banyaknya. Kamu tahu sendiri sesuka apa dia sama uang.” Alva melangkah lambat, mengimbangiku yang berjalan pelan karena ingin berlama-lama berada di bawah bayang pohon-pohon trembesi yang sejuk. “Kalaupun dia balikin uang kamu, masih ada banyak cara buat bikin Chipmunk tunduk.”

“Kamu jalannya agak jauhan nggak bisa, Al? Ini mepet banget, gerah tahu.”

Kupikir aku adalah manusia super clingy kalau sedang jatuh cinta. Nyatanya, Alva lebih parah daripada aku. “Terus kamu maunya gimana? Radius semeter gitu jalannya? Nggak nempel loh bahu kamu di bahu aku. ada jaraknya. Kita jalan kayak biasanya.”

“Aku kangen hujan.”

“Mau eskrim nggak?” tanya Alva sesaat sebelum kami sampai ruko.

Aku menggeleng. “Pengen manggis.” Secara tiba-tiba melontarkan makanan yang melintas di kepala.

“Katanya gerah. Kenapa jadi manggis? Harusnya kan larinya ke es. Emang manggis bisa bikin panas ilang?”

Air conditioner yang bisa ngilangin gerah. Bukan minum es.”

“Atau kita liburan aja. Ke Finlandia. Dingin di sana. sambil lihat Aurora.”

“Ya udah, eskrim aja.” Yang waras harus mengalah.

“Kamu tungguin di ruko lantai satu kamu. Di sana kan dingin. Ada standing AC.”

Entah ini karena stres karena masalah restu atau karena aku kena mood swing, secara tiba-tiba Alva berubah jadi sangat menggoda ketika memasuki ruko sambil membawa sekantung es krim. Tangannya mengusap peluh yang ada di kepala dan pemandangan itu mendadak berubah jadi adegan seksi di mataku.

“Enak nggak eskrimnya?” tanyanya sambil menggigit ujung sendok kayu eskrim. Sumpah, dia seksi kalau begini. Mengherankan.

“Kamu kenapa sih masih di sini? Duduk-duduk? Bukannya kerjaan kamu masih banyak?” Aku ingin dia segera pergi dari sini. Hormonku sedang tidak baik-baik saja. Naik turun dengan cara ajaib.

THE REBEL WHO STOLE MY FIRST KISSWhere stories live. Discover now