Elucidate

4.3K 954 72
                                    

Tak ada lagi pembahasan tentang Dikta karena sisa hari ini kami berdua mendadak sibuk sendiri-sendiri. Aku memilih untuk menunggu sampai operasi Tiara selesai. Sedangkan Alva mau tak mau harus meninggalkan rumah sakit karena pemilik mobil yang digunakan untuk mengantar Tiara meminta mobilnya untuk segera dikembalikan.

Sejak kepindahan Alva ke rumahku, memang tak ada satupun kendaraan yang dia bawa. Satu-satunya kendaraan di rumah hanya ada sepeda milikku. Alva lebih suka bepergian memakai jasa ojek daring atau transportasi umum.

“Ti, gimana?” tanyaku setelah dia selesai operasi dan kembali ke kamar.

“Kakiku kesemutan sampe sekarang.”

“Hah?” aku kebingungan.

“Efek bius, Let,” sambung suaminya. Seolah-olah tahu kalah aku khawatir.

“Astaga. Aku pikir kenapa-kenapa.”

“Alva mana?”

“Balik pas kamu masuk ruang operasi. Mobilnya dicariin yang punya.”

“Lah, kamu baliknya sama siapa?”

“Yaelah. Kan banyak transportasi umum sekarang. Ada Grab juga.”

Aku mengobrol dengan Tiara dan suaminya lalu undur diri setelah memastikan semuanya sehat. Ibu dan bayinya. Bersalam-salaman dengan keluarga besar Tiara yang juga datang berkunjung sesaat sebelum aku meninggalkan kamarnya.

Baru juga menyentuh ponsel untuk memesan ojek daring, Fayra meneleponku.

“Kak Letta kemana aja sih? Aku hubungin dari tadi. ditelepon nggak bisa, di whatsApp nggak dibaca.”

“Tiara lahiran, Fay.”

“Kak Tiara? Lah, kok udah lahiran aja? Sekarang Kak Letta di mana?”

“Di rumah sakit. Ini mau balik.”

“Tungguin di situ aja, aku jemput. Aku pengen cerita. Ini gawat banget tahu nggak sih!”

“Gawat kenapa?”

“Si Biji-Bijian. Aduh, panjang ceritanya. Kak Letta share lokasinya ya, aku ke sana sekarang.”

Sambungan diputus sedetik kemudian. Aku memesan ojek daring untuk mengantarku ke restoran dekat rumah. Lebih baik bertemu di sana, aku terlalu lapar untuk menunggu Fayra datang menjemputku. Begitu naik ke jok penumpang, aku mengirim pesan untuk Fayra bahwa kami sebaiknya bertemu di restoran.

Aku tengah menunggu ojek pesananku datang ketika teleponku kembali berdering. Bukan dari Fayra, melainkan Alva.

“Ya, Al?”

“Kamu masih di rumah sakit?” tanya Alva dari seberang.

“Udah mau balik.”

Jeda beberapa detik sebelum dia kembali bicara, “Kamu mau dijemput?”

“Nggak usah. Ini udah pesen ojol. Masih mau mampir dulu ke restoran. Fayra mau …,” ngomongin perkara Dikta, “curhat.” Kenapa aku tak mau menyebut nama Dikta pada Alva? “Um, Al. Udah dulu ya, ojolnya udah dateng.”

Sepanjang perjalanan menuju restoran, pikiranku jadi penuh setelah bertelepon dengan Alva. Haruskah aku menjelaskan hubunganku dengan Dikta? Tapi kan sama saja seperti memberi harapan pada Alva. Hubungan di antara kami tak boleh lebih dari kakak adik.

“Kak Letta,” panggil Fayra sambil berjalan cepat memasuki restoran setelah aku selesai memesan makan malam. Fayra duduk di depanku, melepas tas kerjanya sambil menggeleng berulang kali. “Aduh, parah deh ini.”

“Kamu nggak pesen makan dulu?”

“Kak Letta yang traktir?” Masih sempat memikirkan gratisan padahal dia sendiri yang cerita keadaannya tengah genting.

THE REBEL WHO STOLE MY FIRST KISSWhere stories live. Discover now