Rebelliousness

4.2K 778 99
                                    

Kami tidak mendapat restu. Itu kenyataannya sekarang. Dampak dari semua itu membuat tubuhku berubah jadi makin aneh. Suasana hatiku mudah berubah, kadang mendadak mellow, kadang senggol bacok. Seakan hormon kartisol tengah mengambil alih tubuhku.
Berbanding terbalik dengan stres yang menghujaniku, Alva malah terlihat sangat tenang. Ketenangannya cenderung terasa mengerikan. Seolah tenang sebelum badai, seolah lautan yang surut sebelum tsunami besar.

“Nih,” kata Alva sambil duduk di depan mejaku. Meletakkan satu kantung plastik hitam di meja kerja. “Katanya pengen manggis.”

Aku menghentikan jari-jariku yang berada di papan ketik. Melihat ke kantung plastik itu sebelum bersemangat membukanya.

“Kok bisa dapet? Kan belum musim?” tanyaku tanpa mengalihkan perhatian dari plastik lalu mengeluarkan buah itu dari sana.

“Carilah. Demi kamu.”

“Bunga-bunga cinta kalian ampe nimpuk kepala aku, guys.” Tiara yang sejak kembali dari cuti panjangnya makin tidak bisa dikendalikan tiap melihatku duduk berduaan bersama Alva.  Dari tukang jodoh berubah jadi stan nomor satu.

“Bunga-bunga cinta banget nggak tuh,” sahutku. “Mau manggis nggak, Ti?” aku bangkit dari tempat duduk dan mengangsurkan buah itu pada Tiara setelah dia memberi satu anggukan.

Alva sudah mengupaskan satu untukku saat aku kembali ke kursi kerja. Dia jauh lebih perhatian setelah kejadian beberapa hari lalu dengan mama dan Raisa. Perhatiannya sampai terasa tidak masuk akal. Ada beberapa alasan yang sepertinya membuatnya sampai seperti ini. Antara dia merasa bersalah karena keluarganya memperlakukan aku dengan buruk atau karena dia takut akan terjadi hal lebih buruk di hari-hari selanjutnya.

Dia menceritakan pertemuannya dengan Alvin dan bagaimana dia bisa tahu apa yang terjadi padaku, besoknya setelah semuanya lebih tenang. Alva datang pagi-pagi sekali ke rumah, sebelum aku berangkat kerja. Dia kelihatan khawatir saat aku membukakan pintu untuknya.
Kami duduk di pelataran belakang rumah pagi itu.

Alva mulai menceritakan tentang pertemuannya dengan Alvin. Ada banyak perdebatan ketika mereka bicara. Alvin menanyakan banyak hal seolah tengah mengulur waktu. Alva baru sadar bahwa dirinya tengah dipermainkan Alvin ketika ponselnya tidak bisa ditemukan. Menghilang secara tiba-tiba setelah dia kembali dari konter—karena disuruh Alvin mengisi ulang minumannya.

Cerita Alva terhenti cukup lama. Dia menatap mataku seakan tengah mempertimbangkan apakah harus jujur atau bohong dengan kelanjutan ceritanya.

“Terus?” tanyaku kala itu, memecah keterdiaman Alva yang tak kunjung usai.

“Waktu aku cari HP aku, nggak ketahuan disembunyiin di mana. Jadi aku ambil HP dia.”

Masih segar di kepala ketika aku kebingungan mendengar penjelasan yang terdengar sangat mudah mengambil alih ponsel Alvin. “Kamu apain Alvin kok kayak mudah banget ambil alih HP dia?”

Alva menggosok hidungnya. Melihatku sekilas sebelum memalingkan wajahnya dariku. Jawabannya hanya seperti gumaman yang tidak bisa diartikan.

“Aku nggak denger, Al. Apa?”

“Aku pukul muka Alvin sampai dia jatuh di pelataran parkir.”

Jawabannya membuatku terkejut. “Sampai pingsan?”

Dia menggeleng. “Nggak pingsan sih, cuman dia misuh-misuh.”

Alva juga menjelaskan pukulan itu dilakukan karena dia sudah kehabisan kesabaran. Selain karena  merasa dipermainkan, Alva akhirnya tahu apa tujuan utama Alvin mengajaknya bertemu. Agar Raisa bisa mendatangiku dan mengadu domba aku dengan mama Alva. Supaya aku mundur. Ingin namaku makin buruk di mata keluarga Alva.

THE REBEL WHO STOLE MY FIRST KISSWhere stories live. Discover now