Penghuni Ruko Berhantu

7.8K 1.4K 68
                                    

Sejak kejadian empat belas tahun lalu, Alva seperti bagian dari keluarga kami. Dia langsung bergabung dengan klub voli beberapa hari kemudian dan menempeli Fayra. Setelah seminggu berteman, dia ikut pulang ke rumah menghabiskan hari di tempat kami hingga akhirnya berhasil melekat pada Papa dan Mama seolah dia anak bungsu dari keluarga ini, sebelum akhirnya dia menghilang tanpa kabar tiga tahun lalu. Benar-benar menghilang total tanpa satupun pesan sebelum akhirnya muncul tanpa peringatan.

Begitu dia muncul, dia menyerang kehidupanku yang sudah damai setahun belakangan ini. Sejak pertemuanku dengan Alva dua hari lalu, ponselku tak berhenti bergetar. Semuanya, ya semuanya, dari Alva. Tentu saja pesannya membuat darah tinggi. Awalnya menanyakan apakah aku sampai dengan selamat sampai rumah lalu merembet ke hal-hal yang lain. Dari mengeluarkan argumen perkara permintaanku agar dia terus memanggilku kakak lalu kembali membahas tentang pacaran.

Dia kembali mengungkit tentang masa lalu. Kembali membicarakan perasaannya yang tak pernah berubah padaku. Sedikit catatan kecil, Alva memang pernah bilang suka padaku. Saat usianya tujuh belas tahun sementara usiaku dua puluh dua tahun. Aku ingat detail kejadiannya. Hari itu, Alva mengenakan seragam SMA sementara aku memakai setelan kerja pertamaku. Aku ingat bagaimana aku mengacak rambutnya karena dia terlihat menggemaskan dan lucu setelah ia memproklamirkan rasanya padaku.

Selucu kelakuan random Fayra, Alva juga selalu terlihat seperti itu di mataku. Bocah laki-laki yang akan selalu kulihat sebagai adik. Bocah laki-laki yang selalu menuruti kemauanku. Jadi, kenapa dia sekarang jadi keras kepala? Tidak, tidak. Sudah dari dulu dia memang susah diatur. Selalu melanggar aturan dan selalu memberontak pada orang tuanya.

Sebuah ingatan melintas cepat di kepalaku. Membuatku mengangguk pada pantulan diriku dalam cermin. Dia benar-benar berubah sulit kukendalikan saat dengar aku pacaran.

Ponselku kembali bergetar dan tanpa sadar membuat napasku terhela panjang. Sudah membayangkan di kepala bahwa peneleponnya Alva. Kelegaan memenuhi diriku saat tahu Papa yang menelepon.

Berbeda dari Mama yang enggan bicara padaku karena dosa-dosa yang kulakukan, Papa adalah pihak netral. Dia masih bicara padaku seakan tidak terjadi apa-apa. Seakan kejadian viral tiga tahun lalu, bukanlah kesalahanku. Dia juga tak mau dilibatkan dalam proses perjodohan yang Mama lakukan setahun lalu.

"Jadi nggak dibikinin tangga luar buat naik ke lantai dua?" tanya Papa setelah kami bicara panjang lebar mengenai nasib lantai dua rumahku yang memang tak pernah ditempati sejak aku pindah ke sini.

"Nggak usah dulu," jawabku sambil memulas liptin ke bibir. Aku memang selalu bicara dengan pelantang suara tiap kali bertelepon di rumah atau menggunakan headphone tiap kali di luar rumah. Agar bisa melakukan pekerjaan lain.

Papa menerangkan kalau kami harus antri selama dua bulan kalau tak menggunakan jasa tukang langganannya minggu ini. Beberapa minggu ini, lantai dua rumah memang sedang diperbaiki. Menambal yang bocor, mengganti keran yang rusak, mengecat ulang tembok yang terkelupas. Pokoknya memperbarui apa saja yang rusak.

Sepuluh menit setelah sambungan telepon selesai, aku mengayuh sepeda menuju tempat kerja. Jangan bayangkan aku bekerja di kantor yang ada di belakang supermarket utama Bangun Megah. Tempat kerjaku terpisah dari sana. Papa yang menyarankannya lima tahun lalu. Membeli salah satu ruko yang letaknya tak jauh dari rumah yang sekarang kutempati.

Ruko yang hanya ditempati oleh enam orang termasuk aku. Dua akuntan utama, dua kepala gudang, satu pengawas armada transportasi, dan satu office girl. Kebanyakan aku, Tiara—akuntan utama yang satunya lagi, dan Gita—office girl, yang sering tinggal di ruko. Pak Haryo dan Pak Andi—dua kepala gudang, serta Kak Fabian—pengawas armada transportasi, lebih sering berada di lapangan. Mereka lebih sering datang ke sini setelah jam makan siang.

"Rame banget, ada apa?" tanyaku setelah sampai di lantai dua ruko yang jaraknya hanya beberapa menit saja dari rumah.

Tiara dan Gita yang mengintip dari jendela, berpaling padaku yang tengah meletakkan tas.

"Mbak Letta nggak bakal percaya dengan ini," kata Gita, "ruko depan yang kondang banyak setannya ada yang menghuni sekarang."

"Ya udah kelihatan, Gita. Mereka lagi mindahin barang itu."

"Tiga ruko lho, Mbak, yang ditempatin. Dari kemarin mindahin mesin-mesin yang sama kayak itu."

Sejak aku memasuki area ruko, acara memindahkan mesin-mesin hidrolik itu memang mengundang perhatian. Area ruko di sini memang tak cukup banyak peminatnya tapi masih adalah beberapa yang menempati—sebagian besar ruko ditempati oleh penjaja makanan—dan membuat beberapa orang berkerubung menyaksikan pemindahan mesin. Atau mungkin untuk melihat siapa orang yang berani menempati ruko yang sejak kepindahanku sudah dilabeli sebagai ruko berhantu.

"Yang bikin rame tuh bukan karena mindahin mesinnya, Lett," celatuk Tiara yang menikmati susu paginya di dekat jendela. Mengintip ke ruko seberang. "Tapi ada karyawannya yang ganteng banget. Seumuran Gita paling. Kamu tahu nggak artis Aleanora? Versi laki-lakinya Alea. Udah gitu, tinggi banget lagi. Secara fisik spek dia setara dewa."

Aku menelan ludah susah payah setelah mendengar penjelasan Tiara. Ini nggak seperti yang aku perkirakan, kan?

"Tau bakal ada cowok segini gantengnya, harusnya aku nggak buru-buru nikah. Mau centil juga inget perut udah segede gini." Tiara mengelus kehamilannya yang telah berusia tujuh bulan. "Panjang umur. Tuh anaknya. Eh, mau ke mana dia?"

Aku langsung jelalatan melihat keluar jendela. Melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa sosok yang memakai sweetshirt dan celana pendek itu adalah orang yang telah kuduga.

Aku mendadak merasa pusing. Ini tidak boleh terjadi. Haruskah aku menghubungi Alea agar dia bisa menyeret Alva keluar dari hidupku? Belum terlambat untuk memberitahunya. Aku yakin, Alea juga tidak akan sudi adik kesayangannya berhubungan denganku.

"Mbak Letta. Ngopi dulu," ucap Gita beberapa saat kemudian. "Kayaknya butuh kopi banget." Sejak beberapa menit lalu aku memang tak berpindah dari jendela. Pikiranku mengatur strategi untuk mengusir Alva pergi.

"Satu ya, Git. Tanpa gula."

Pikirkan nanti saja. Batinku berbisik saat aku duduk ke kursi kerja. Senin selalu sibuk. Ada utang yang harus dibayar, ada piutang yang harus ditagih, ada ratusan jenis besi yang harus dicek ulang karena minggu ini ada kenaikan harga. Pak Haryo akan menjitakku kalau aku tidak fokus kerja.

Baru juga melupakan masalah tentang Alva, setan itu muncul dengan suara paling ceria yang pernah kudengar. Menyapaku tanpa tahu malu. Seolah dunia ini hanya ada aku dan dia saja. "Violetta sayang," panggilnya melupakan embel-embel 'Kak' yang kuwajibkan. Memberontak seperti biasanya. "Aku beliin sarapan favorit kamu nih, nasi pecel."

Hukuman bacok orang berapa tahun penjara sih?

==

THE REBEL WHO STOLE MY FIRST KISSWhere stories live. Discover now