Circumstance

4.7K 895 17
                                    

Aku mengempaskan tubuh ke sofa. Keseluruhan hari ini sangat melelahkan. Energi dikuras habis-habisan. Lima puluh persen karena Alva yang berulah sejak tadi siang, sisanya karena mulutku yang suka blong kalau sudah banyak bicara.

Alva melewatiku begitu saja. Tak banyak bicara seperti biasanya. Sejak peristiwa tadi di restoran sampai kami tiba di rumah, dia jadi bocah pendiam. Kalau tidak marah berarti ya sedang merajuk. Biarkan saja. Aku tak punya tanggung jawab untuk menjelaskan semuanya. Toh, dia bukan siapa-siapaku. Tambahan satu lagi, menjauhnya Alva adalah hal yang kuinginkan. Lebih baik dia keluar dari kehidupanku sebelum aku benar-benar jatuh cinta padanya.

“Let? Kenapa deh kamu? Beberapa hari ini kelihatan murung. Kamu ada masalah?” Tiara yang besok cuti, menarik kursi kerjanya dan duduk di sebelahku.

Tuduhannya jelas tidak berdasar. Beberapa hari ini, hidupku tenang. Alva tidak ribut seperti biasanya. Suasana damai sebelum Alva muncul di rumah, telah kudapatkan kembali hari-hari ini. Tambahan lagi, tiga hari lalu tangga luar menuju ke lantai dua telah dipasang. Jadi, dia tak lagi berseliweran di depanku. Semua fakta itu membuatku sangat bahagia sampai ingin berguling-guling di lantai rasanya.

“Murung darimana sih? Aku lagi hepi banget loh, Ti.”

“Kalihatan sedih gitu. Masa nggak ngerasa sih kamu?”

“Jangan ngadi-ngadi kamu, Ti.”

Tiara mengembus napas panjang. “Ya udah, ya udah. Bagus kalau kamu nggak sedih,” katanya sambil meninggalkan sampingku. Mendorong kursi kembali ke meja kerjanya. “Kalau ada apa-apa, kamu bisa curhat ke aku loh, Let. Mumpung aku masih di sini hari ini.”

Hari ini memang hari terakhir Tiara bekerja. Dia sengaja mengambil cuti mepet dengan tanggal perkiraan kelahiran agar bisa lebih lama bersama bayinya nanti. Fokus mengurus bayi selama masa cuti.

“Atau kamu juga bisa hubungin aku kalau ada masalah. Kapanpun.” Tawaran untuk menjadikannya tempat curhat tak pernah lelah diucapkan. Sejak dua tahun lalu sampai sekarang. Sayangnya, aku kesulitan membuka diri. Tambahan lagi, aku kurang suka menceritakan urusan pribadiku pada teman sekerja.

“Kalau kerjaanku numpuk, aku bisa hubungin kamu kalau gitu ya, Ti? Secara kan Pak Aryo nggak ngasih kabar siapa yang bakal bantu aku di sini buat ngurusin semua ini.”

“Nggak menerima konsultasi perkara pekerjaan. Aku hanya siap mendengarkan curhatmu dengan si Berondong ruko depan.”

Aku berniat untuk mencela Alva di depan Tiara ketika perempuan itu mengerutkan kening secara tiba-tiba. “Kenapa Ti?”

Dahinya mengerut makin dalam. Dia kemudian mengucap kalimat yang langsung terdengar horor untuk dua telingaku. “Kok berasa rembes sih, Let.”

“Hah?”

“Bentar, aku ke kamar mandi dulu.”

Panik menyerangku. Aku ikut berdiri ketika Tiara juga berdiri. Kemudian seperti anak ayam yang kehilangan induknya, aku mengekori Tiara menuju kamar mandi. Cemas sekaligus ngeri. Bagaimana kalau dia melahirkan di sini?

“Gimana?” tanyaku mengetuk pintu kamar mandi. Was-was kalau dia pingsan di dalam.

Beberapa detik kemudian pintu kamar mandi terbuka. “Kayaknya udah mau lahiran deh, Let.”

“Lah? Bukannya perkiraan kelahirannya masih sepuluh hari lagi, Ti?” tanyaku senewen.

“Ini kayaknya aku nggak bisa lanjut kerja deh.”

“YA EMANG NGGAK!” bentakku kesal. Tiara masih saja memikirkan pekerjaan di saat genting begini. Aku kemudian berteriak memanggil Gita agar membantu Tiara berkemas.

THE REBEL WHO STOLE MY FIRST KISSWhere stories live. Discover now