7-ARAH YANG BERBEDA

42 7 1
                                    

Hai, selamat sore<3

Ketemu lagi di bab selanjutnya, dari cerita ini. Terima kasih, sudah bersedia untuk membaca.

Selamat membaca💗

Now playing :
Kasih Putih-Gleen Fredly

Jika bisa dinobatkan, mungkin hari ini adalah hari yang buruk bagi Aira. Mulai dari kisah persahabatannya hingga kisah cintanya, sama-sama menyedihkan. Tidak ada lagi tempat untuk dirinya berkeluh kesah, bercerita, menangis, sandaran, dan ia harus melaluinya sendirian.

Semesta sedang bercanda. Kemarin, ia yang paling bahagia. Mendapatkan sahabat, dan cinta yang selalu dibanggakan. Sekarang, semuanya terbalik. Masanya untuk bersedih akhirnya terjadi. Bahagia entah kapan datang kembali.

"Gabriel—"

"Gue lihat dan dengar semuanya, Ra," sergah Dikta dengan cepat. Ia menatap wajah gadis itu melalui kaca spion motornya.

"Menurut lo, gimana dengan keputusan gue?" Tanya Aira.

"Gue enggak mau menyalahkan ataupun membenarkan, apapun yang terjadi antara lo dengan Gabriel. Bukan ranah gue, untuk ikut masuk ke dalam hubungan lo," ujar Dikta.

"Tapi, apapun keputusan yang lo buat, gue anggap itu mungkin sudah yang terbaik. Dan apapun itu, gue selalu dukung lo dari belakang, sebagai teman," lanjut Dikta.

Aira nampak menghela nafas panjang. "Cuman lo yang bisa gue ajak bercerita, Ta."

"Apaan sih, Ra. Lo tuh masih punya Eliza sama Zana, pasti bersedia banget buat jadi tempat cerita lo," ujar Dikta yakin.

"Hubungan gue, sama mereka lagi renggang, Ta..." Tanpa Dikta bertanya, Aira menjelaskan segalanya tentang apa yang terjadi.

Dikta tidak menyangka, bahkan ikut prihatin dengan keadaan Aira. Gadis yang ia bonceng saat ini memang tengah rapuh. Disaat yang bersamaan, persahabatan dan kisah cintanya sama-sama hancur.

Perlahan Aira menceritakan semuanya kepada Dikta apa yang sebenarnya terjadi. Dikta juga memelankan laju motornya, agar bisa lebih fokus terhadap cerita Aira.

"Benar kata Zana, Ra. Cintai itu, butuh dua orang yang mau diajak kerja sama. Bukan sepihak saja. Cinta juga layaknya rumah," Lampu merah di depan memberhentikan motor Dikta bersama para pengendara lainnya.

"Sebagai tempat pulang. Bisa jadi penenang, dikala riuhnya isi kepala. Pulang yang merebahkan kepala, di segala tuntutan. Menjadi sorak paling bangga, yang menemani gagal-berhasil, jatuh-bangun, bahagia-sedih, dan segala situasi yang di luar kendali."

Dikta menjeda sejenak kalimatnya.

"Asal lo tau, Ra. Terkadang kita merasa sulit untuk melepaskan sesuatu, yang menurut kita berharga tetapi sebenarnya perlahan-lahan bisa membuat kita sakit. Tetapi ketika kita mencoba melakukannya, kita baru sadar. Ternyata rasanya jauh lebih tenang dan enggak seperti yang di fikirkan. Kita hanya terus takut, dan tidak mau mencoba. Itu kelemahan manusia sesungguhnya," pungkas Dikta.

Lampu yang tadinya merah, kini sudah berubah menjadi hijau. Seluruh pengendara kembali melajukan kendaraannya sesuai tujuan.

Dikta menepikan motor scoopy kesayangannya di pinggir jalan. Keduanya sama-sama turun dari motor dan melangkah masuh ke warung makan. Tampilannya amat sederhana, terpal biru sebagai atap, deretan meja kayu, dengan bangku plastik yang serempak berwarna biru.

Keduanya duduk di salah satu bangku, yang saling berhadapan. "Bang, ayam lalapannya dua, minumnya es teh aja," pinta Dikta ke salah satu pelayan.

"Di tunggu, dek," ujar pelayan tersebut.

PULANGWhere stories live. Discover now