9-TENTANG HUJAN

27 5 2
                                    

Hai, selamat sore<3

Ketemu lagi di bab selanjutnya, dari cerita ini. Terima kasih, sudah bersedia untuk membaca.

Selamat membaca💗

Now playing!
Labirin-Tulus

Pukul 12 siang lewat, para murid yang muslim berbondong-bondong berlari menuju kelas masing-masing setelah menunaikan solat dzuhur secara berjama'ah. Ini merupakan salah satu program kerja Osis agar bisa lebih meningkatkan kesadaran para murid untuk beribadah kepada Tuhan-Nya.

Agam dan Dikta yang telah selesai memakai sepatunya, langsung beranjak meninggalkan musholla sekolah. Di tengah perjalanannya, keduanya bertemu dengan Eliza yang juga baru dari musholla. Terlihat di tangan gadis tersebut sebuah tas mukena berwarna putih.

"Sendirian aja, Za? Aira sama Zana, kemana?" Tanya Agam.

"Oh, mereka lagi halangan. Jadinya tinggal di kelas aja," ujar Eliza yang sama sekali tidak menatap kedua lelaki tersebut.

"Oh iya, gue lumayan jarang lihat kalian ke musholla. Cuman sekali dua kali doang," tambah Eliza.

"Kita solatnya di Masjid belakang sekolah, Za. Gue heran banget sama murid-murid disini. Ketika menghadap sama pencipta, gak ada semangat-semangatnya. Masih sibuk bicara pas solat, main-main, bahkan lupa sama raka'at solatnya. Giliran mau ketemu sama pacarnya, ehh malah semangat, rapi, bahkan siapin dirinya jauh-jauh hari," keluh Agam.

"Bener banget. Gue aja kadang, sampai gak khusyuk gara-gara di samping gue yang suka main-main. Makanya kita lari aja di masjid belakang sekolah. Isinya bapak-bapak semua, tapi tertib."

Eliza tertawa kecil. Kejadian yang dikeluhkan oleh Dikta dan Agam memang juga sering dikeluhkan oleh para guru. Susah sekali membuat mereka sadar. Teguran bahkan sanksi sudah diberikan tapi tetap saja terus terulang.

"Sabar, aja. Mereka belum sadar aja, kalau ada ganjaran setiap perbuatan. Kita do'ain, biar mereka bisa cepat insaf dan kita yang terganggu semoga lebih dikuatkan imannya," sahut Eliza.

"Tapi, kalau dibiarin kayak gini, dan kita gak melakukan apa-apa, sama aja bohong, dong? Mereka bakalan terus aja kayak gitu. Bukan kita aja yang terganggu, bahkan guru-guru yang ikut solat juga ikut terganggu," komentar Agam.

"Susah sih, Gam, kalau menurut gue. Kita juga enggak bisa maksa orang lain, buat langsung berubah begitu aja. Manusia gak bisa secepat itu, untuk merubah sesuatu hal yang udah melekat dalam diri mereka," balas Dikta.

Kemudian cowok itu merangkul pundak kokoh Agam. "Udah, kalau mereka memang begitu, ya sudah kita aja yang menjauh dari mereka. Mengambil keputusan untuk solat di Masjid belakang sekolah juga itu udah bagus."

Agam mengangguk paham. Eliza yang berada di samping Agam hanya tersenyum tipis. Persahabatan mereka memang menbawa ke hal-hal positif. Dikta yang mampu bersikap dewasa dan sedikit kaku, bisa di cairkan oleh Agam dengan segala tingkah nya.

Bukan dari satu sudut pandang saja Eliza melihatnya. Satu hal yang ia bisa tarik dari mereka berdua yaitu tentang keduanya yang takut akan Tuhan. Sama-sama saling mengingatkan, mengajak dan berjalan bersama untuk menemui yang maha Kuasa.

"Kelas gue di sebelah sana, gue duluan ya. Makasih, udah mau nemenin," ujar Eliza dengan ramah.

"Santai, Za. Hati-hati, ya." Eliza mengangguk menanggapi ucapan Agam. Kemudian berlalu untuk menuju kelasnya.

Agam yang sedari tadi mengamati langkah gadis itu, Dikta langsung menarik wajah Agam untuk mengarah kepadanya.

"Jaga pandangan, lo. Dia udah susah-susah untuk menutup dirinya, lo masih aja nambah dosa buat dia," tegur Dikta.

PULANGWhere stories live. Discover now