19-DIMENSI ASA

12 3 1
                                    

Hai, selamat malam<3

Ketemu lagi di bab selanjutnya, dari cerita ini. Terima kasih, sudah bersedia untuk membaca.

Selamat membaca💗


Now playing :
April-Fiersa Besari

Tak jauh dari toko paman Xang, terdapat sebuah danau yang begitu luas. Air jernih di padukan dengan padang rumput luas memberikan kesan tenang di sekitar sana. Di pinggirnya juga tumbuh sebuah pohon besar yang tidak dapat ditembus oleh sinar matahari. Di bawah pohon tersebut, dua remaja tengah duduk dengan santai.

"Istri beliau meninggal, saat mengandung anak pertama mereka. Hal itu yang pernah membuat paman Xang, sangat terpukul. Bahkan beliau sempat menutup diri, tidak ingin menemui siapapun," jawab Dikta.

Aira masih penasaran dengan cerita paman Xang yang menurutnya, sangatlah menarik. "Ya, pastinya begitu, Ta. Bayangin aja, lo langsung kehilangan dua orang yang lo sayang sekaligus dalam waktu bersamaan."

"Terus, kenapa lo bisa akrab banget sama paman Xang?"

"Waktu kecil, gue sering main ke tempatnya paman Xang bareng Opa. Nah, disitu gue mulai tertarik dengan dunia seni. Seperti melukis, bermain alat musik, fotografi, menulis, dan semua hal yang berbau seni gue suka. Pokoknya dia selalu cerita banyak hal, dan yang paling penting, dia baik banget, Ra," terang Dikta.

"Suatu waktu dia kasih gue kamera analog. Masih bingung sampai sekarang, alasan beliau ngasih kamera bocah umur 10 tahun yang bahkan cara pakainya aja, gak tau. Dan kamera itu masih gue simpan sampai sekarang." Dikta tertawa kala mengingat kenangan itu.

Bumantara juga sempat heran dengan Xang. Dengan mudahnya menyerahkan kamera kesayangannya kepada Dikta, yang pada saat itu belum mengerti dengan dunia fotografi. Tetapi paman Xang tidak peduli dengan itu.

Sepulang dari toko paman Xang, Dikta kecil langsung menggunakan kamera tersebut. Mengambil gambar Oma nya yang tengah menbuat kue, Opa yang sedang menonton, bunga, kursi, mainan di kamarnya, hingga adiknya Ziva.

Dikta yang dulu tidak tahu menahu apapun tentang kamera, kini sudah tumbuh menjadi pemuda yang begitu mencintai fotografi. Ribuan gambar sudah ia abadikan di dalam kameranya. Dan sebagian yang menurutnya berharga, dicetak lalu ia tempel di dalam sebuah buku album.

"Kalau bisa di suruh milih, lo pilih, musik, melukis, menulis, atau memotret?"

"Kalau gue pilih lo, gimana?"

Aira terkekeh. "Gue serius, Ibra..."

Dikta meredakan ketawanya, lalu sejenak berfikir. "Aish, pertanyaan lo, susah banget sih, Ra. Gak ada pertanyaan lain, apa?"

"Apanya, yang susah? Tinggal milih, doang."

"Ya, susahlah, Ra. Semua pilihan yang lo kasih itu, semuanya kesukaan gue. Rasanya hampa aja, kalau sehari gak ngelakuin salah satunya."

"Lo, se fanatik itu ya, sama seni?"

"Bukan fanatik, lebih tepatnya seni udah mengalir dalam jiwa gue. Setiap ada masalah, pasti ujung-ujungnya ngelukis gak jelas, menulis, atau bahkan nyiptain lagu," jawab Dikta.

Aira menoleh, menatap sepenuhnya wajah Dikta dari samping. "Kenapa, mesti ke hal itu?"

"Di sana gue juga bebas mengekspresikan diri gue, tanpa orang lain ketahui. Ribuan aksara yang gue tulis, gambar berantakan, melodi yang tercipta, serta warna dari hasil tangkapan gambar, seakan sudah mewakili apa-apa yang gue rasakan. Tanpa perlu berceloteh panjang, di depan manusia, yang sebenarnya mereka tidak peduli dengan perasaan kita," tutur Dikta.

PULANGWhere stories live. Discover now