27-TEMPAT BERHENTINYA BUKAN DI SANA

7 2 1
                                    

Hai, selamat pagi<3

How's your day?

Ketemu lagi di bab selanjutnya, dari cerita ini. Terima kasih, sudah bersedia untuk membaca.

Selamat membaca💗

Now playing :
Can I Be Him-James Arthur


Ratusan murid berbondong-bondong keluar dari kelas masing-masing setelah bel pulang di bunyikan. Para motor dan mobil mulai berdesak-desakan keluar menuju gerbang. Dua gadis yang tengah berjalan di tengah lapangan pun sengaja memperlambat langkahnya, karena masih sibuk mengobrol.

"Eh, Za, itu Agam udah keluar. Mending lo ngomong aja sekarang," ucap Zana menunjuk ke arah Agam yang baru saja keluar dari kelas dan di sampingnya ada Dikta yang juga sedari tadi menunggunya keluar.

"Ngomong, apa?" Tanya Eliza.

"Ck, lo confess aja sama Agam sekarang. Kelamaan kalau mau nunggu ujian. Mumpung sekolah udah mulai sepi." Zana menarik lengan Eliza.

"Ih, enggak!" Eliza menepis tangan Zana. "Gue udah bilang berapa kali, kalau gue enggak suka sama Agam. Kenapa lo enggak percaya, sih?"

Zana sedikit terkejut dan tertegun. "Serius, lo, Za?"

Eliza mengangguk cepat. "Kalau beneran gue suka sama Agam, gue pasti kasih tau kalian dan gak sekuat itu buat gue sembunyiin."

Tenggorokan Zana sedikit tercekat. Ia tidak mampu lagi berkata-kata. Tinggal mereka berdua saja yang ada di lapangan saat itu. Aira sudah lebih dulu ke lab fisika untuk mengikuti pelatihan Olimpiade. "Terus, kalau bukan Agam, siapa lagi, Za?"

Eliza menunduk sangat dalam sembari meremas kuat rok panjang nya. Antara hati, logika nya kini sedang memberontak dalam dirinya. Tidak pernah ia merasakan hal ini sebelumnya. Bahkan ia tidak tau harus memulainya darimana.

Sudah banyak rasa yang Eliza pendam dari lama. Untuk menjelaskannya pun seperti nya terlalu kepanjangan menurutnya. Ia menyimpan semunya sendirian, tidak berniat untuk berbagi cerita kepada sahabatnya. Walaupun ia tahu, mereka akn membantunya tentang apapun itu. Eliza mengangkat kepalanya menatap Zana dengan penuh yakin.

"Dikta, Za," ungkap Eliza.

Zana kembali dibuat terkejut. "Na, bercandaan lo gak lucu. Lo—"

"Gue serius, Na," potong Eliza. "Bahkan gue lebih dulu simpan perasaan itu ke Dikta, sebelum dia kenal Aira."

Seluruh tubuh Zana terasa lemas begitu saja. Ini terlalu rumit baginya. Persahabatan seakan terasa begitu berat ketika mereka berdua terlibat dengan orang yang sama. Zana membuang wajahnya ke sembarang arah sembari berusaha mengontrol perasaannya saat ini.

"Gue udah tau, kok, selama ini Dikta suka sama siapa, dia dekat sama siapa, dan lagi kagumin siapa. Bahkan sebelum Dikta nyatain perasaannya ke Aira, sahabat gue sendiri. Sakit, Na," lanjut Eliza.

"Kalau lo tanya kenapa gue bisa suka sama Dikta, gue juga gak tau, Na. Kalau lo juga tanya gue pilih sahabat gue sendiri, atau Dikta. Gue bakal tetap pilih Aira. Ketika gue liat Dikta natap Aira, disitu gue sadar. Kalau gue emang enggak pernah ada di dalam isi kepala Dikta, sedikit pun."

"Tapi, kenapa lo sering natap Agam? Setiap di kantin, lapangan basket, bahkan dimana pun itu," sela Zana.

"Karena gue nyari, Dikta. Karena gue yakin, dimana ada Agam, disitu pasti ada Dikta," jawab Aira.

Zana memijat keningnya yang terasa pusing. Otaknya benar-benar buntu sekarang. Satu sisi pun, Eliza sedikit merasa lebih lega saat ia sudah bisa menyuarakan isi hatinya. Walaupun bukan kepada orang yang ia tuju. Di bawah langit sore waktu itu mereka saling mengkhawatirkan masing-masing. Zana mengkhawatirkan persahabatan nya yang semoga saja tidak hancur. Dan Eliza mengkhawatirkan perasaannya berujung akan merugikan persahabatannya maupun Dikta.

PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang