22-SEBAGIAN KECIL DARI BUMI

17 3 1
                                    

Hai, Selamat Sore<3

Ketemu lagi di bab selanjutnya, dari cerita ini. Terima kasih, sudah bersedia untuk membaca.

Selamat membaca💗

Now Playing :
Sial-Mahalini

Bangku kelas dua belas terasa begitu asing bagi sebagian para murid kelas sebelas. Mereka perlu beradaptasi lagi dengan suasana kelas, dan teman-teman yang baru. SMA Mandala masih menerapkan sistem pertukaran murid. Dimana, murid-murid yang berprestasi dan mendapatkan peringkat kelas, maka akan di tempatkan di kelas XII IPA 1. Sebenarnya tidak masalah jika ada sistem seperti ini, tetapi para murid hanya sedikit lelah harus bertemu dengan orang baru, berkenalan kembali.

Agam, merupakan salah satu murid XII IPA 1 itu, terasa hampa sekali baginya. Walaupun sudah hampir dua tahun, ia tidak pernah lengser dari kelas tersebut baru kali ini ia merasa sepi.

Biasanya, Dikta yang menduduki bangku di sebelahnya. Tapi sekarang, murid lain yang menempatinya. Perasaan kecewa terus ia rasakan setelah membaca urutan nama yang terpajang di papan pengumuman sekolah. Yang dimana, nama Dikta berada di urutan kelas XII IPA 5, terlempar jauh di sana.

"Agam!" Laki-laki itu menghentikan langkah nya tatkala seseorang memanggil namanya.

Aira, yang mengejarnya setelah keluar dari dalam kelas. Agam hanya mengangkat satu alisnya. Ia bisa melihat jelas dari gerak gerik dari gadis itu terlihat gugup dan sedikit ketakutan. Terus diam sembari memainkan kuku-kuku jarinya.

"Lo, tau kabar Dikta, gak? Semenjak kejadian beberapa hari yang lalu, dia gak pernah ngabarin gue," ujar gadis itu dengan pelan.

"Lo nunggu di kabarin, dulu?"

"Maksudnya?"

Agam mengangkat bahunya, dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya. "Kenapa, lo enggak coba duluan aja tanyain ke dia nya? Tanpa perlu, dia dulu yang ngabarin lo."

Aira terdiam. Tercetak jelas dari raut wajah Agam yang sama sekali Aira tidak bisa mengerti. Di bandingkan dengan Dikta yang wajahnya selalu senang, dan ceria. Berbeda dengan Agam, yang kadang berubah-ubah dan tidak bisa tertebak oleh Aira.

Ucapan Dikta beberapa hari yang lalu kembali terputar di memori Agam. Kira-kira, kalimatnya seperti ini, Jangan benci Aira dulu, ya, Gam. Kasih gue waktu, buat buktiin ke lo, kalau dia emang layak buat gue perjuangin.

"Dia ada acara keluarga di luar kota, tempatnya juga susah jaringan. Jadi, itu mungkin alasan dia enggak ngabarin lo," ujar Agam berbohong.

Dari suara bicaranya saja ia sudah sangat ketus. Andaikan Aira bukanlah seorang perempuan, ia mungkin sudah menghabisi nya sekarang juga. Apalagi ia sudah tau alasan Dikta terkena alergi. Tentu saja dengan melihat hasil dokter, dan menyuruh Dikta menceritakan segalanya. Agam semakin dibuat geram.

Aira hanya terus diam beberapa menit. Tanpa ia sadari Agam sudah berbalik dan kembali berjalan menjauhi dirinya.

****
"Udah kelas dua belas aja, nih. Bentar lagi, bakalan lulus, seneng gak, kalian?" Riuh Zana bertanya kepada Aira dan Eliza yang ada di depannya.

"Yah, seneng sih, seneng udah bisa sampai di tahap ini. Tapi, ya lo tau semua lah, habis dari SMA, dunia yang sesungguhnya bakalan kita hadapin," ucap Eliza mengaduk-aduk jus mangganya.

"Kalau gak di hadapin, kita gak tau bakalan kayak gimana ke depannya. Bisa aja lebih seru," timpal Aira.

"Dan, bisa juga lebih gila!" Tambah Zana penuh penekanan.

PULANGWhere stories live. Discover now