21-SEMESTA YANG TERUS BEROTASI

16 3 2
                                    

Hai, selamat pagi<3

Ketemu lagi di bab selanjutnya, dari cerita ini. Terima kasih, sudah bersedia untuk membaca.

Selamat membaca💗

Now Playing:
Evaluasi-Hindia

"Lah, lo kenapa, Ta? Habis berantem?" Tanya Dava kaget melihat penampakan bibir Dikta yang terluka.

"Berani juga lo berantem, Ta. Udah tau, Opa lo kayak gimana," celetuk Dio tanpa mengalihkan tatapannya dari laptop yang ada di pangkuannya.

"Dia habis di pukulin, bang," adu Agam, tengah mengoleskan obat merah ke luka Dikta.

Dio, Dava dan seluruh yang ada di warung babeh serempak menoleh dan kaget. Hening seketika. Tatapan mereka seakan meminta penjelasan yang sedetail detailnya dari pihak Agam maupun Dikta. "Salah paham, doang, bang. Gak besar kok, masalahnya," ucap Agam santai.

"Lo, gak ngelawan, Ta?" Sahut Rigel yang sedang mengunyah pisang goreng.

Dikta menggeleng pelan. "Gak perlu. Dia bukan tandingan yang pas, buat gue."

"Gila, lo, Ta. Iya, gue tau hal itu, tapi yang gak masuk akal nya, kok lo bisa-bisanya sih berantem?" Tanya Gama tidak habis pikir.

Dava mengangguk setuju. "Kita semua, sudah sahabatan lama sama lo, Ta. Bahkan Agam teman kecil lo, pasti udah tau sifat asli lo kayak gimana. Lo jarang banget buat masalah, ataupun kena masalah yang langsung main fisik kayak begini."

"Bener, bang. Komunitas kita pun, gak pernah berhubungan dengan anak geng motor, ataupun geng yang ada di jalanan. Kita semua juga enggak pernah nyenggol siapapun," timpal Azka.

"Masalah sepele doang, bang. Seperti yang di bilang sama Agam. Cuman, salah paham. Gue gak ngelawan, ya malas, aja. Satu pukulan ini pun, juga gak terlalu berasa," ujar Dikta dengan santai.

"Tapi, terima kasih, ya. Kalian udah peduli sama gue. Terutama, lo, Gam. Kalau lo enggak datang, mungkin gue bakal kelepasan juga."

Dari arah warung, babeh datang membawa segelas air putih. "Makanya, kalau ada sesuatu yang tidak sesuai, dibicarakan dulu baik-baik. Hati boleh panas, hati harus tetap...."

"DINGIN!!" Sorak mereka semua melanjutkan kalimat babeh.

"Terima kasih, ya, beh." Laki-laki berpeci warna merah marun itu mengangguk lalu kembali masuk ke dalam warung. Membiarkan para anak muda itu bersenang-senang dengan kegiatannya.

Babeh memang seperti itu. Menjadi motivator, pengingat untuk mereka semua yang kadang lupa ataupun lalai. Lelaki tua dengan segala ke humorisan dan keramahan nya menjadi salah satu alasan, bahwa tempat ini adalah tempat ternyaman bagi mereka semua.

Beberapa menit setelahnya, perut Dikta terasa mual. Kepalanya pun ikut terasa pening. Segera ia berlari menuju wc yang berada di samping warung babeh. Hal itu itu terlepas dari pantauan Agam.

Tak berselang lama, Dikta telah kembali dan duduk di samping Agam. "Lo, kenapa?"

Dikta menggeleng pelan. Agam tetaplah Agam, yang tidak bisa dikelabui begitu saja oleh Dikta. Sekujur tubuh Dikta basah akan keringat. Tangan Agam terangkat menempelkan nya ke kening Dikta. Suhu tubuhnya naik.

"Ta, badan lo panas, banget!" Suara Agam tentu saja membuat atensi seluruh orang tertuju kepada Dikta. Mereka semua mendekat untuk memastikan

Dikta tak bisa lagi menahan rasa sakit pada bagian perutnya. "Perut gue sakit banget, Gam."

"Lo, mual ga, Ta?" Tanya Alfat kepada Dikta.

Laki-laki itu hanya mengangguk. Aji kembali memeriksa kening Dikta dan benar yang dikatakan oleh Agam. "Bang, lo punya alergi sama makanan, gak?"

PULANGWhere stories live. Discover now