20-TENTANG RASA YANG TAK BERSUARA

12 4 1
                                    

Hai, selamat siang<3

Ketemu lagi di bab selanjutnya, dari cerita ini. Terima kasih, sudah bersedia untuk membaca.

Selamat membaca💗

"Akhir-akhir ini, saya emang jarang sama dia, bu. Kita berdua juga sama-sama sibuk, untuk persiapan ujian kenaikan kelas ini," ucap Agam.

"Persiapan, ujian? Betul?" Tanya ibu Rinda terlihat ambigu.

Agam tidak mengerti sekaligus terdiam. Keringatnya mengalir deras walaupun ruangan tersebut sudah di kelilingi oleh beberapa AC yang menyala. Agam sebenarnya berbohong, ia sendiri juga tidak tahu apa yang dilakukan Dikta selama ini. Tidak mungkin juga ia jujur bahwa hubungannya dengan Dikta saat ini sedikit renggang. Dan alasan mereka tidak sama-sama pun bukan untuk mempersiapkan ujian.

"Iya, bu," ucap Agam cukup lugas.

Ibu Rinda menunduk lalu kemudian menarik laci meja, untuk mengambil beberapa lembar kertas putih di dalam sana. Setiap lembaran akhirnya ia pisah dan diletakkan di hadapan Agam. "Hanya nilai bahasa Indonesia, Pendidikan Agama Islam, PKN, sama Sejarah Indonesia yang nilainya tidak merah."

"Lantas, apa persiapan apa yang dilakukan oleh Dikta? Agam, kamu tau kan, Dikta jagonya di biologi? Tapi, kenapa nilainya cuman 30?" Cecar ibu Rinda.

Agam masih sibuk melihat hasil ujian Dikta. Mulai dari biologi yang dapat 30, matematika wajib 40, bahkan fisika pun tidak ada yang benar. Walau Dikta masih berada di peringkat 15, mungkin itu hasil nilai dari tugas yang selama ini ia kerjakan.

"Agam, coba jujur sama ibu. Apa di antara kalian berdua ada masalah? Atau, ada masalah yang sedang di alami oleh Dikta?"

"Gak ada, bu. Tapi, kenapa ibu gak coba tanya sama Dikta?"

"Apa kamu yakin, kalau Dikta bakalan mau cerita? Tapi tenang aja, ibu bakalan panggil wali Dikta untuk datang ke sekolah. Ibu dan para pihak sekolah, bakalan bicara langsung sama mereka," tutur bu Rinda.

"Sampai segitunya, bu?"

Ibu Rinda mengerutkan dahinya. "Bukannya setiap anak yang berprestasi, kemudian nilainya menurun akan ditindak seperti itu, Agam. Itu sudah jadi program sekolah kita, loh. Dan ada beberapa anak yang sudah mengalami hal seperti itu."

"Menurut saya, itu terlalu berlebihan, bu. Soalnya orang tua kita enggak perlu untuk tau, kalau kita gagal."

"Ibu setuju. Tetapi, perhatian kita tidak boleh terus tertuju kepada siapa yang menang, ataupun yang berhasil menduduki peringkat pertama. Tapi kita juga perlu memperhatikan orang yang gagal. Dan, mengenai pendidikan, itu bukan tugas dari guru saja, tetapi orang tua juga harus ambil andil dalam hal ini." Ibu Rinda menjelaskannya dengan tenang.

"Akademik, bukan hal yang utama. Melainkan mental anak muda, yang juga perlu di perhatikan. Otak yang terus di asah, akan semakin baik, dan luas wawasannya. Tetapi mental yang terus di hajar habis-habisan, akan binasa jiwanya, walaupun raganya masih ada."

Agam menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Otaknya tidak bisa mencerna kejadian beberapa jam yang lalu di kelas. Dulu, ia selalu bergurau kepada Dikta bahwa suatu saat ia akan mengalahkan peringkat nya. Agam yang selalu terkurung di peringkat lima kelas, sekarang akhirnya bebas melangkah ke peringkat ke empat.

Tidak senang, dan tidak juga sedih. Bukan seperti ini inginnya, yang salah satu di antara mereka terlempar jauh ke belakang. Ini bukan kesalahan teknis, ataupun kecurangan dari pihak sekolah. Tetapi ia tidak terima, ketika Dikta kehilangan usahanya, dan terlalu santai di semester kali ini.

"Bu!" Panggil Agam dengan pelan.

Bu Rinda menaikkan satu alisnya. "Iya, kenapa, Agam?"

"Bisa, gak, saya dengan Dikta tukaran peringkat aja?"

PULANGWhere stories live. Discover now