12-KEMENANGAN

43 4 2
                                    

Hai, selamat malam<3

Ketemu lagi di bab selanjutnya, dari cerita ini. Terima kasih, sudah bersedia untuk membaca.

Selamat membaca💗

Now playing:
Sheila On 7-Anugrah Terindah Yang Pernah Kumiliki

Di dalam sebuah gedung lautan manusia berkumpul, bersorak, menggemakan yel-yel untuk sekolah kebanggan mereka yang sedang bertanding. Di tengah lapangan, dua tim tengah beradu skill basket yang mereka miliki. Tidak ada yang mau mengalah, mereka ingin hasil maksimal dari latihan berhari-hari.

Detak jantung yang memacu hebat, air keringat bercucuran ke lantai, dan fokus sepenuhnya mengarah ke bola. SMA Mandala yang kini berhadapan dengan SMA pancasila dalam partai final, terlihat sengit.

Sayangnya, SMA Mandala tertinggal sepuluh poin dari SMA Pancasila. Sekolah tersebut memang sangat kuat, terbukti beberapa tahun kemarin mereka juga berhadapan dengan SMA Pancasila dalam babak final.

"LANGSUNG SHOOT, GABRIEL!!" Setelah mengintruksi, Dikta mengoper bola ke Gabriel yang posisinya kosong. Tapi point seakan tidak berpihak kepada mereka.

Lemparan Gabriel hanya mengenai papan ring, dan jatuh memantul ke lantai. Alhasil mereka harus kembali berjuang untuk merebut bola, dan mengamankan ring sendiri.

Priittt...

Wasit meniup peluit menandakan time out untuk kedua tim. Sahutan yel-yel dari Smandal masih belum reda. Mereka terus memberikan semangat dan do'a untuk tim sekolah mereka. Para guru-guru juga terlihat hadir dan sangat tegang menonton.

Para pemain meraih air minum masing-masing. "SUDAH TERHITUNG LIMA KALI KAMU TIDAK MEMANFAATKAN PELUANG YANG ADA, GABRIEL!! COBA KAMU LIHAT, TIM KITA SUDAH TERTINGGAL SEPULUH POINT!"

"DARI LATIHAN, SAMPAI BERTANDING KAMU BANYAK CEROBOH NYA. LAY UP GAGAL, SHOOT GAGAL, KERJA SAMA ENGGAK MAU, EGOIS, ENGGAK MENGIKUTI STRATEGI, KAMU INI KENAPA, SEBENARNYA?!!" Pak Adi terlihat murka dengan performa Gabriel.

Pak Adi memang tegas saat pemainnya bertanding di lapangan. Tidak segan-segan ia memarahi dan mengeluarkan semua kekurangan pemainnya secara terang-terangan. Wajahnya terlihat merah padam, urat-urat di lehernya tercetak jelas.

Keringatnya juga tidak berhenti keluar, sebab sejak dari tadi beliau berteriak di pinggir lapangan mengatur para pemainnya.

"Maaf, pak," cicit Gabriel yang tertunduk. Para pemain lain juga terlihat kesal. Tapi tidak ada untungnya jika harus marah-marah di situasi seperti ini.

"Kamu juga, Dikta!! Sudah dari awal, saya ragu untuk memasukkan dia ke tim inti. Tetapi kamu masih bersikeras untuk memasukkan dia. Kamu sebagai ketua, seharusnya bisa tegas dengan anggota kamu," semprot pak Adi.

"Saya setengah mati melatih kalian, meyakinkan guru-guru untuk datang menonton kalian, sekolah memberikan dana yang besar, teman-teman bahkan keluarga kalian semangat datang, dan berharap untuk menang. Dan begini cara kalian main?"

"INI PERTANDINGAN BESAR, DIKTA!!" Gertak Pak Adi. Dikta yang terduduk di pinggir lapangan tidak bisa membalasnya dengan apapun. Yang dikatakan pak Adi memang benar.

Bukan hal kecil ketika memasuki pertandingan besar ini. Butuh biaya besar, dukungan, usaha keras, doa. Dari awal Dikta yang memang terlalu keras kepala untuk memasukkan Gabriel. Tetapi menurutnya, Gabriel pemain yang patut di perhitungkan dalam basket.

Dikta tau kualitas permainan Gabriel seperti apa. Memang tapi entah kenapa akhir-akhir ini, permainan cowok itu lebih menurun. Saat latihan, sparing, bahkan di saat pertandingan babak final seperti ini.

PULANGWhere stories live. Discover now