31-(KITA) SELESAI

35 3 2
                                    

Hai, selamat malam<3

How's your day?

Ketemu lagi di bab selanjutnya, dari cerita ini. Terima kasih, sudah bersedia untuk membaca.

Selamat membaca💗

Now Playing :
Bernafas Tanpamu-Last Child

Bel pulang telah berbunyi keras membuat seluruh warga sekolah SMA MANDALA berteriak kegirangan. Para guru segera menyelesaikan jam mata pelajarannya, dan mengizinkan para murid untuk kembali ke rumah masing-masing. Awan gelap mendominasi siang hari ini. Para murid juga sigap memakai jas hujan dan segera mengeluarkan kendaraan mereka dengan sedikit cepat.

Berbanding dengan kelas XII IPA 5 yang baru keluar, saat 10 menit setelah bel dibunyikan. Pak Warta sengaja menyita sedikit waktu mereka untuk menghabiskan materi yang ada di buku paket. Apalagi beberapa hari lagi menjelang ujian sekolah, ujian akhir semester, dan ujian praktek akan menyerang kelas XII.

Setelah selesai, Dikta langsung berlari keluar dari kelas. Ia tidak membawa kendaraan hari ini, sebab motor kesayangannya harus masuk ke bengkel. Agam tadi sempat menawarkan tumpangan, tapi Dikta merasa tidak enak apalagi harus menunggu nya selama itu. Abdi, Jeje dan Ardi, arah rumah mereka semua tidak ada yang searah.

Saat Dikta menginjakkan kaki di halte yang berada di dekat sekolah, terdapat beberapa siswa yang juga tengah menunggu tumpangan. Bukan hanya itu, Dikta sedikit mengerutkan dahinya saat salah satu gadis mampu menarik atensinya.

"Lo, nungguin siapa, Ra?" Tanya Dikta kala menghampiri Aira dan duduk di sampingnya.

Setelah beberapa waktu mereka menghilang dari kehidupan masing-masing, memilih untuk menghindar satu sama lain, akhirnya mereka kembali bertemu dan Dikta dengan berani menyapanya kembali.

"Lagi nungguin papa," ucap Aira yang dibalas anggukan kecil oleh Dikta.

Rasanya sudah cukup. Ada sedikit jarak di antara mereka berdua. Dikta juga sudah sadar diri sekarang, bahwa ia tidak harus bersikap dulu lagi. Yang perhatian, dan melakukan apapun untuk Aira. Perasaannya juga harus ia jaga, tidak boleh semena-mena atas dirinya sendiri hanya karena mengharapkan sesuatu yang menyakiti dirinya.

Dikta akhirnya diam, sembari mengamati sekelilingnya. Jalanan aspal mulai basah akan rintik hujan yang perlahan-lahan berubah menjadi deras. Beberapa murid yang menunggu, mulai berkurang.

20 menit berlalu, hanya ada Aira dan Dikta di tempat itu. Hujan semakin lebat menyirami seisi bumi Jakarta. Dikta sedikiti melirik ke arah Aira, yang tengah menggosok-gosokkan kedua tangannya agar terasa hangat. Dengan sedikit menurunkan egonya, Dikta melepas jaket cokelat yang ia kenakan dan ia berikan kepada Aira.

"Jangan sampai sakit. Minggu depan, kita udah ujian," ucap Dikta.

Aira tidak menolak. Ia segera memaki jaket besar tersebut ke badannya. Entahlah, suasana kali ini begitu canggung. Inilah yang Aira takutkan. Menjadi asing ketika mereka menaruh harapan.

"Kayaknya, kita udah asing banget ya, Ta," cetus Aira memecah keheningan. "Padahal, gue masih pengen sahabatan lebih lama dengan lo, Ta. Karena, cuman satu-satunya yang bisa ngertiin gue. Gue pengen banget, rasain acara perpisahan nanti bareng lo. Tapi, takdir memang punya garisnya sendiri."

"Gue pernah menjadi sosok itu, Ra. Tapi, apa pernah lo hargai?" Balas Dikta. "Kalau kita sekarang jadi asing, mungkin itu memang sudah takdir, Ra."

"Dan sekarang, memang lebih baik untuk kita seperti ini, Ra," ucap Dikta lagi.

Dikta sekuat hati untuk menahan dirinya. Ia masih ingat beberapa hari yang lalu sepulang dari pantai, seluruh tubuh Dikta terbaring lemah di atas kasur. Ribuan tangis yang ia tahan akhirnya pecah malam itu juga. Di posisi masih ingin memperjuangkan sesuatu tetapi semesta selalu tidak berpihak kepadanya, sehingga harus mundur, itulah keadaan Dikta sekarang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 05, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang