30-JALANNYA, MASING-MASING SAJA, YA?

15 3 5
                                    

Hai, selamat malam<3

How's your day?

Ketemu lagi di bab selanjutnya, dari cerita ini. Terima kasih, sudah bersedia untuk membaca.

Selamat membaca💗

Now Playing:
Tak Segampang Itu-Anggi Marito

Seorang pemuda tengah menatap langit malam yang begitu cerah. Pasir putih tanpa alas apapun ia duduki, dengan hamparan laut lepas yang begitu gelap. Pantai itu tidak terlalu sepi akan pengunjung, banyak muda mudi, dan beberapa keluarga kecil yang menghabiskan waktu malam minggu di tempat ini.

Sudah satu jam Dikta duduk disini dengan tatapan kosongnya. Angin malam terus memaksa untuk menembus jaket berwarna abu-abu yang Dikta kenakan. Di punggungnya terdapat sebuah tas yang sengaja ia bawa.

"Lama, nunggunya?" Suara wanita yang begitu Dikta kenali mampu membuat nya langsung menoleh.

Dilihatnya Aira datang menggunakan jaket oversize berwarna cokelat tua, dengan rambut yang sengaja dibiarkan terurai. Gadis itu duduk tepat di samping Dikta sembari ikut menatap lurus ke depan. Keduanya sama-sama memilih untuk diam, terlalu sulit untuk menyuarakan apa-apa yang sedang mereka rasakan.

Keduanya sama-sama memilih tempat ini untuk bertemu. "Tadi di telfon, lo mau ngomong sesuatu. Emang, apaan?" Tanya Dikta langsung pada topik.

Dikta juga sudah merasa aneh sendiri pada dirinya dan Aira. Biasanya ketika bertemu akan banyak hal yang terjadi. Bercerita, makan, menyanyi bersama ataupun melakukan hal-hal yang menyenangkan lainnya. Tapi sekarang semuanya semu. Dikta sekuat tenaga membangun tembok besar untuk dirinya dengan Aira.

Ia sadar siapa Aira sekarang di dalam hidupnya.

Aira terdiam sebentar, menatap hamparan laut lepas. "Beberapa bulan yang lalu, gue balikan sama Gabriel."

Hanya itu kalimat yang bisa Aira keluarkan. Sisanya, ia bingung dan tak tau arah dengan keadaan ini. Sementara Dikta ia juga tidak bereaksi apapun. Marah, ataupun bahagia. Laki-laki itu hanya terlena dengan ribuan bintang yang menghiasi langit di atas sana. Ribuan perih di dadanya seakan ikut melayang.
Jutaan tangis seharusnya tidak boleh ia keluarkan.

Dikta menghela nafas panjang. "Dan, gue, orang yang paling akhir tau akan hal ini," sambung Dikta.

"Salah gak sih, Ta. Kalau gue cuman pengen kita sahabatan terus. Tanpa perlu melibatkan yang namanya cinta. Gue pengen kita yang dulu, lo yang dulu," serang Aira dengan suara yang bergetar.

"Gak ada salahnya..." jawab Dikta menjeda sejenak kalimatnya. "Tapi seandainya, lo emang pengen kita sahabatan, lo gak harusnya kasih gua harapan, Ra. Harapan yang bikin gua yakin, kalau suatu hari lo bakalan milih gua, lo bakalan berjalan ke arah gua."

Sepertinya akan memang terus seperti ini. Hanya Dikta yang semangat akan jalinan ini, Aira tidak. Hanya Dikta yang selalu menanti, hanya Dikta ingin terus menerus ingin mengetahui kabar Aira, hanya Dikta yang selalu ada. Aira tidak. Tidak ada timbal balik antar keduanya. Hanya satu sisi saja yang ringan, yang sebelahnya keberatan.

Hampir satu sekolah tau akan kabar ini. Bahkan orang-orang yang tidak terlalu akrab dengan Aira ataupun Gabriel juga tau. Sedangkan Dikta? Ia hanya seperti orang bodoh, yang baru keluar dari goa, tak tau arah dan tidak tau apa yang terjadi di luar sana. Dan yang paling mirisnya, Dikta mengetahui kabar tersebut dari orang lain. Bukan dari Aira sendiri.

"Lo pengen gue yang dulu, bagaimana? Terus ada di samping lo, terus ada saat lo sedih, tapi lo enggak pernah ada sedikit waktu pun buat gue? Itu, yang lo mau?" Balas Dikta tanpa sedikit pun menatap Aira.

PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang