17-UNTUK YANG TIDAK AKAN KEMBALI

19 4 1
                                    

Hai, selamat malam<3

Ketemu lagi di bab selanjutnya, dari cerita ini. Terima kasih, sudah bersedia untuk membaca.

Selamat membaca💗

Now playing :
Kekasih Bayangan-Cakra Khan


Dua ikat bunga mawar putih Dikta letakkan di atas makam kedua orang tuanya. Hari minggu, sudah ia jadwalkan untuk mengunjungi tempat penuh manusia yang di bawah sana ingin kembali ke dunia. Tanpa menghiraukan apapun, Dikta memilih membaringkan tubuhnya di atas tanah di antara makam kedua orang tuanya.

Hoodie abu-abu yang ia gunakan bisa dipastikan sudah kotor bagian belakangnya. Mata Dikta sedikit menyesuaikan cahaya yang berasal dari atas langit. Sore hari ia pilih agar tidak terlalu panas.

"Yah, Dikta berkelahi dengan Agam." Dikta mulai bercerita. "Agam mukul duluan, tapi tenang aja. Dikta gak balas kok, Yah. Mau bagaimana pun, Agam tetap sahabat Dikta."

"Karena, kalau gak ada Agam, Dikta gak bakalan punya sahabat, Yah. Dikta bakalan jadi manusia penyendiri, sepi, dan gak ada semangatnya."

Seulas senyum terbit dari wajahnya. "Lucu, Yah. Sekarang kita berdua berantem gara-gara perempuan. Dulu, cuman berantem gara-gara rebutan mainan."

Dikta menghela nafas panjang, lalu menoleh ke arah makam sang bunda. "Bun, jadi dewasa tidak menyenangkan, yah. Semesta terlalu berisik ternyata. Bebas sekali orang-orang menghakimi. Waktu kecil, kukira setiap ulang tahun hanya senang yang di dapat. Ternyata tidak. Semakin bertambah usia, ribuan pertanyaan selalu memenuhi isi kepala. Tapi, seandainya bunda ada, pundak Dikta tidak akan seberat sekarang."

"Dikta lagi kehilangan arah, bun. Butuh uluran tangan lembut, butuh pelukan, support, kalimat penenang dari ayah sama bunda. Kalau kalian berdua ada disini, mungkin dunia Dikta bakalan baik-baik aja. Tidak bakalan rumit dan bingung seperti sekarang."

Dikta menatap ke arah langit yang begitu tenang di atas sana. Sebuah pesawat terbang melintas terlihat begitu kecil dari bawah sini. Mungkin ada segelintir anak kecil yang tengah bermain dan melihatnya lalu kemudian berteriak meminta uang.

Dunia anak kecil jauh lebih menyenangkan. Hanya memikirkan sekolah, pulang, bermain, lalu terlelap dengan tenang. Belum di suguhkan sebuah kenyataan bahwa hidup memang jahat adanya. Masih meraba tentang dunia yang sesungguhnya. Memimpikan bahwa fase hidup hanya sekedar tumbuh, sekolah, kerja, hidup bahagia, lalu meninggal.

"Bun, minta tolong sama Tuhan, biar bisa di kuatin. Opa sama Oma udah tua, gak boleh terlalu banyak pikiran. Ziva, masih kecil, tidak pantas untuk menanggung beban yang sebenarnya tidak boleh ia tanggung."

"Jadi, kalau bukan aku, siapa lagi?"

****
Setelah melaksanakan solat maghrib, Dikta segera melajukan motornya menuju sebuah bangunan yang berada di dekat musholla tempat ia solat tadi. Hanya berjarak beberapa meter saja, Dikta sudah sampai di tempat tersebut. Ramai, tentu saja langsung menyapa indera penglihatan Dikta. Segera ia memarkirkan motornya, lalu menyapa-nyapa beberapa pemuda yang tengah duduk santai di sana.

Sebuah warung yang menjadi bangunan utama di sana, dan terdapat spanduk besar tergantung bertuliskan "Grow To Give" tercetak jelas di atas sana. Lima buah gazebo berjejer dengan rapi dengn diisi beberapa pemuda yang sibuk dengan aksi masing-masing.

"Wuih, wajah baru, nih. Kemana aja lo, Ta?" Dio, yang menyambut Dikta lalu ber tos ria. Lelaki itu tengah libur semester kuliah di salah satu kampus ternama, anak fakultas Psikologi.

Kedatangan Dikta di sambut baik di sana. Ia mendudukkan dirinya di warung tersebut, di samping Dio. Matanya tidak sengaja bertemu dengan mata milik Agam. Semenjak kejadian tiga hari yang lalu, keduanya tidak saling bertegur sapa. Memilih diam, dan masih memikirkan ego satu sama lain.

PULANGWhere stories live. Discover now