11-NADA-NADA INDAH

22 6 1
                                    

Hai, selamat malam<3

Ketemu lagi di bab selanjutnya, dari cerita ini. Terima kasih, sudah bersedia untuk membaca.

Selamat membaca💗

Playing now:
Pelukku Untuk Pelikmu-Fiersa Besari

Dikta hari ini seakan tidak membiarkan dirinya untuk istirahat. Setelah memenangkan beberapa pertandingan bersama tim basketnya, ia langsung menancapkan pedal gas motornya untuk pulang. Mandi, berganti baju, solat Maghrib tidak lupa dan kembali pergi untuk menuju rumah Aira. Hari dimana mereka akan menonton konser sudah tiba.

Ritme detak jantung Dikta masih berdenyut begitu kencang, akibat belum istirahat sama sekali. Tapi lagi-lagi ia tidak peduli. Akibat mengikuti pertandingan mulai dari pagi hingga sore.

Tujuannya saat ini hanya kepada Aira, memastikan dirinya untuk tidak terlambat sedikit pun.

Lima belas menit perjalanan sudah cukup untuk menempuh dari rumah Dikta ke rumah Aira. Sesampainya di sana, ia disambut baik oleh satpam penjaga rumah gadis itu. Kebetulan ia juga kenal dengan beliau, karena sering datang ke sini mengantar Aira pulang.

"Aira nya, ada, kang?" Tanya Dikta dengan ramah.

"Ada. Tinggal ketuk pintu aja, kebetulan bapak sama ibu, ada di dalam," ungkap akang Darman—satpam rumah Aira.

Dikta mengangguk. "Yaudah, saya ke sana dulu ya, kang."

"Siap!" Dikta kembali melanjutkan langkahnya menuju pintu utama rumah tersebut.

Saat sudah berada di depan pintu rumah Aira, tangannya langsung terangkat mengetuk pintu besar berwarna putih itu. Jujur saja, walaupun Dikta sudah beberapa kali datang ke sini, hatinya tetap saja tidak bisa tenang. Sebab biasanya ia hanya sampai di depan gerbang saja, tidak pernah menginjakkan kaki ke dalam rumah besar ini.

Ketukan pertama, tidak ada orang yang keluar. Dikta kembali mengetuk nya, dan akhirnya dibuka oleh seorang pria paruh baya, yang bisa ia pastikan itu adalah papa Aira.

"Dikta, kan?" Tangan pria paruh baya itu menunjuk ke arah Dikta. Keduanya memang pernah bertemu satu kali, di rumah sakit waktu itu.

"Iya, om." Rasa takut serta canggung tentu saja ada dalam benak Dikta. Mulutnya juga seakan kaku untuk mencari bahan obrolan.

Rumi—papa Aira tertawa kecil melihat tingkah pemuda itu. Ia memutuskan untuk mengajak Dikta untuk masuk ke dalam rumahnya berbincang di ruang tamunya. Kedatangannya juga di sambut baik oleh Ayu—mama Aira. Tidak ada Tiara di rumah, akhir-akhir ini ia kembali di sibukkan dengan tugas kuliah nya.

"Maksud saya datang ke sini, mau minta izin om, tante. Saya sama Aira, pengen keluar buat nonton konser di alun-alun kota," tutur Dikta dengan sopan.

Rumi dan Ayu mengangguk-ngangguk kecil paham akan maksud dengan Dikta. "Boleh, asalkan sampai di sana, kamu jaga Aira baik-baik. Oh iya, kalau konsernya sudah selesai, langsung pulang. Besok harus sekolah, kan?"

"Pasti, om," ujar Dikta dengan penuh kesanggupan.

Dari tangga penghubung antara lantai satu dan dua rumah tersebut, seorang gadis turun dengan outfit yang begitu simple. Hanya mengenakan baju kaos putih oversize, celana kulot denim berwarna biru serta sepatu putih. Rambut yang sengaja ia gerai, menambah aura kecantikan gadis itu.

Aira menghampiri kedua orang tuanya, berpamitan lalu menyalami kedua punggung tangan orang tuanya. "Jangan bandel nanti kalau di sana. Papa titip kamu ke Dikta, jadi harus ikut sama dia, okey?"

"Oke, pa!" Aira nampak begitu antusias. Terakhir ia memeluk kedua orang tuanya itu dengan sangat erat.

Rumi juga tanpa ragu mengecup puncak kepala putri kesyangannya itu. Begitu pun dengan Ayu. Sementara Dikta yang menyaksikan itu lantas tersenyum tipis. Banyak kata andai yang terbesit dalam benaknya.

PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang