14-RUANG YANG TAK BERPENGHUNI

20 4 1
                                    

Hai, Selamat Malam<3

Ketemu lagi di bab selanjutnya, dari cerita ini. Terima kasih, sudah bersedia untuk membaca.

Selamat membaca💗

Now Playing :
Seperti Yang Kau Minta-Virzha

"AGAM!"

Dikta berlari dengan tergopoh-gopoh menyusul Agam yang sudah beberapa meter di depannya. Laki-laki yang tengah berjalan santai di koridor itu kemudian menoleh mengarah ke sahabatnya. Keduanya sedikit menepi membiarkan para murid lain melewati mereka.

Bel istirahat sudah dibunyikan beberapa menit yang lalu yang membuat keadaan sekolah menjadi ramai.

"Kenapa?"

"Gue mau nanya, soal kemarin. Gimana?" Tanya Dikta.

Agam menghela nafas panjang. "Kemarin, kita semua datang ke rumah lo. Yang lainnya senang banget, bantu Oma sama Ziva buat masak. Lo sendiri kan, yang buat rencana, agenda, dan apa-apa aja yang harus di lakukan. Makan bersama di panti asuhan, terus solat berjamaah di sana."

"Setelah semuanya selesai, kita nungguin lo. Bahkan Opa, Oma sama Ziva telpon lo beberapa kali. Tapi gak ada satu pun yang lo angkat. Dan ternyata, lo lupa. Lucu banget, sih, Ta." Agam tertawa hambar lalu geleng-geleng kepala tidak habis fikir.

"Bukan maksud gue untuk—"

"Untuk, apa?" Potong Agam tajam. "Disaat orang lain, begitu antusias, dengan lapang hati bantuin untuk suksesin acara itu, lo sendiri malah lupa."

"Ta, kemarin itu acara peringatan kematian nyokap sama bokap lo. Yang tiap tahun keluarga lo lakuin. Gue bener-bener gak habis fikir sama lo."

Dikta memaklumi sikap Agam saat ini dan ia juga pantas mendapatkannya. Acara kemarin itu memang untuk memperingati hari kematian kedua orang tuanya. Yang sering dilakukan setiap tahun keluarganya.

Grow To Give berartikan tumbuh untuk memberi, yang didirikan oleh Dikta dan Agam dengan jumlah anggota 50 pemuda dari berbagai usia. Seperti namanya, mereka selalu mengumpulkan dana, menggalang dana, ikut turun ke tempat-tempat bencana dan selalu melakukan kegiatan bakti sosial.

Selain itu mereka juga senang dalam membantu sesama anggota. Contohnya seperti acara Dikta kemarin. Mereka berbondong-bondong dengan ikhlas datang untuk membantu. Tapi sayang, Dikta ceroboh waktu itu.

"Gam, lo harus mengerti posisi gue juga. Gue pun gak mau hal ini terjadi," ujar Dikta membela diri.

Agam tertawa kecil, dan menyunggingkan senyumnya. "Lo mau di mengerti, tapi gak mau mengerti orang lain, Ta. Asal lo tau, bang Sekala rela datang dari Bandung ke Jakarta cuman buat acara ini. Bang Dava, juga rela ninggalin acara kampusnya biar bisa ikut acara lo dan kita kumpul sama-sama."

"Gini aja, gak usah terlalu bertele-tele. Lo dari mana aja, kemarin?" Satu alis Agam terangkat, tatapannya pun begitu tajam menatap Dikta.

Dikta diam tak berkutik sedikit pun. Aura keduanya tidak terlihat tengah bercanda seperti biasanya. Mulut Dikta terasa tercekat untuk mengatakan yang sesungguhnya, bisa ia pastikan Agam pastilah sangat kecewa akan tindakannya itu.

Apalagi acara kemarin itu memang sangatlah penting bagi keluarga Dikta. Keluarganya akan memasak dengan jumlah yang banyak, dan akan dibagikan kepada yang membutuhkan. Baik itu penyapu jalanan, pengemis, anak panti asuhan, panti jompo, dan bagi manusia yang membutuhkan sesuap nasi.

"Penting banget, atau rahasia? Lama banget jawabnya." Agam tertawa sinis.

"Gue habis nganterin Aira ke taman. Dia nangis di sana, dia masih ingat tentang Gabriel. Gue nemenin dia dengan waktu lama, dan antar dia sampai pulang ke rumahnya," jelas Dikta.

PULANGDonde viven las historias. Descúbrelo ahora