8-TENTANG RASA RINDU

39 5 3
                                    

Hai, selamat sore<3

Ketemu lagi di bab selanjutnya, dari cerita ini. Terima kasih, sudah bersedia untuk membaca.

Selamat membaca💗

Now Playing
Remaja-Hivi

Assalamu'alaikum warahmatullah....

Gerakan terakhir dalam sholat sudah di lakukan. Kemudian di lanjutkan dengan berzikir, bersholawat, lalu terakhir berdoa. Bumantara yang berlaku sebagai imam sholat, membalikkan tubuhnya menghadap ke belakang.

Dikta langsung mengambil tangan Opanya itu, salam dan mencium punggung tangannya. Hal yang sama dilakukan oleh Oma dan Ziva. Kedua wanita itu sangat cantik, serasi dengan mukena putih yang mereka kenakan.

Sholat maghrib secara berjama'ah telah mereka laksanakan. Memang begitu rutinitas di keluarga ini. Baik sholat Subuh, Maghrib, dan Isya. Ketika Dzuhur dan Asar, Dikta dan Ziva biasa menunaikannya di musholla sekolah.

"Belakangan ini, Opa selalu lihat kamu selalu pulang telat Dikta. Kemana aja?" Tanya Bumantara terlihat serius ketika mereka sudah duduk santai di atas sajadah masing-masing.

"Dikta sering latihan, Opa," ucap Dikta.

"Opa tau jadwal latihan kamu, Dikta. Cuman tiga kali satu minggu. Ini, malah setiap hari kamu terlambat pulang."

Dikta menghela nafas panjang. Opanya ini memang memperhatikan setiap jadwal Dikta. Jika ada kejanggalan yang ia rasa, tak segan-segan Opanya itu akan menanyakan kepada pihak sekolah.

Dikta menunduk dalam. "Dikta sering anterin teman dulu," ujarnya dengan jujur.

"Aira?" Tanya Gina memperjelas. Dikta memang pernah menceritakan tentang Aira kepada Omanya itu. Jadi tidak kaget, ketika Omanya menyebutkan nama Aira.

Dikta membalas mengangguk. Beberapa minggu belakangan ini, hubungan Dikta dan Aira semakin erat. Tak jarang mereka untuk pulang bersama. Dikta menyempatkan dirinya untuk mengantar gadis itu pulang hingga ke rumahnya. Sesekali mampir ke taman kota, atau pasar kuliner pinggir jalan untuk melepas penat setelah seharian belajar.

Bukan itu saja, saat di sekolah pun mereka sangat dekat. Ke kantin sama-sama, duduk di taman sekolah, dan menghabiskan waktu istirahat berdua.

"Hati-hati, jatuh hati dengan orang yang masa lalunya belum usai," ujar Bumantara.

"Tapi Dikta enggak jatuh hati sama dia, Opa. Cuma bantu doang, buat sembuh," sanggah Dikta.

Bumantara terkekeh mendengarnya. "Awalnya cuman sekedar menyembuhkan. Ujung-ujungnya meminta untuk di lebihkan. Terkadang memang begitu. Seiring berjalannya waktu, semesta perlahan merubah tujuan awal seseorang."

"Kakak enggak boleh anggap enteng Opa soal cinta. Opa itu, dulu buaya pada masanya. Untung ketemu sama Oma," sahut Aira. Opa dan Oma serentak tertawa mendengarnya.

"Untung aja, sifat Opa kamu ini, enggak turun ke anak-anaknya," sambung Oma.

Bumantara memang sering menceritakan masa-masa bujangnya dulu. Sebelun mengenal Gina, dan menjadikannya pendamping hidup. Tidak salah ketika menceritakan masa kelam kepada anak dan cucu. Bukan maksud agar mereka meniru. Tapi di jadikan sebagai pembelajaran.

Bumantara kembali menatap Dikta, setelah meredakan tawanya. Ia menepuk pundak cucu laki-laki kebanggannya itu. "Opa tidak marah, kesal, ataupun melarang kamu dekat dengan wanita mana pun. Selama ini, Opa, Oma membesarkan mu dengan kasih sayang, cinta, perhatian yang tidak kurang sedikit pun. Kamu pasti tau, kan?"

PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang