13-YANG TERLUPAKAN

35 4 1
                                    

Hai, selamat siang<3

Ketemu lagi di bab selanjutnya, dari cerita ini. Terima kasih, sudah bersedia untuk membaca.

Selamat membaca💗

Playing Now:
Bertaut-Nadin Amizah

Riuh suara kantin adalah hal yang paling biasa di sekolah mana pun. Tempat yang layaknya surga bagi murid karena bebas melakukan apapun di sana. Makan, mengobrol tanpa harus di marahi guru, dan bercanda satu sama lain. Di salah satu meja yang ada di kantin, dua orang gadis menghuni tempat itu.

Sangat tenang menikmati makanan masing-masing. Tapi tidak dengan Eliza, gadis itu sibuk dengan handphonenya dan mengabaikan semangkok bakso di hadapannya.

"Za, lo lagi liat apaan, sih? Gue berasa batu aja disini, gak diajak ngobrol," ketus Zana penasaran dengan apa yang dilihat oleh Eliza di benda pipih tersebut.

Tidak ada Aira di antara mereka. Gadis itu harus lebih dulu ke ruang Lab Fisika menemui pembina untuk sesuatu hal. Alhasil, hanya Zana dan Eliza saja yang ke kantin. Keduanya sempat ingin menunggu Aira, tetapi gadis itu menyarankan untuk lebih dulu saja.

"WOI, ZA!!" Teriak Zana yang pada pada dasarnya manusia satu ini tidak bisa santai.

Eliza mendengus kesal. "Ganggu aja, lo. Gue tuh lagi nge-stalk instagram seseorang."

"Cowok?" Tanya Zana lalu dibalas anggukan oleh Eliza.

Zana seketika membulatkan matanya sempurna. Kaget sekaligus terkejut mendengar penuturan Eliza. Karena yang ia tahu selama bersahabat dengan Eliza, gadis itu sama sekali tidak pernah bercerita mengenai cowok.

Eliza paling malas berurusan dengan spesies cowok, dan bahkan untuk mencari akun sosial medianya pun, Eliza paling anti.

Di antara mereka bertiga, Eliza lah yang tidak pernah membahas tentang cowok yang ia suka ataupun kagumi. Dekat ataupun pacaran, ia tidak pernah. Hal yang menjadikan dirinya seperti itu adalah latar belakang keluarganya yang rata-rata sangat taat dengan agama.

Kakeknya merupakan seorang ulama terkenal, dan kedua orang tuanya yang sama-sama menjalankan salah satu pondok pesantren yang ada di Bandung. Eliza dari kecil juga sudah di masukkan di sana. Ia melanjutkan jenjang bangku SMA-nya di Jakarta, mengikuti kedua orang tuanya yang tengah mengurus salah satu pondok pesantren di kota ini.

Zana kemudian mendekatkan bangkunya ke samping kanan Eliza. "Wih, siapa nih, yang udah berhasil luluhin hati batu ustadzah Eliza?" Ledek Zana. 

Eliza langsung meletakkan handphone nya di atas meja. Lalu menyeruput jus jeruk miliknya. Saat ini, ketiganya memang tengah menikmati jam istirahat di kantin. "Ck, gue belum suka, cuman kagum doang. Beda, kan?"

"Cuman beda tipis doang, Za. Ujung-ujungnya bakal falling in love juga," elak Zana.

"Kalau pun iya, untuk saat ini, biar gue aja yang tau. Kalau gue udah siap, gue bakal kasih tau lo sama Aira juga."

"Kalau gue mau tau sekarang, gimana?" Zana menaik turunkan alisnya. "Lo, tau kan, jiwa-jiwa stalker gue tuh, kayak gimana."

"Ck, jangan rusuh dulu, deh, Na!"

"Ya, lagian, lo pake acara sembunyi-sembunyian, gak asik lo!" Kesal Zana memasang wajah cemberutnya.

"Tapi, cowok yang lo kagumin itu, gue kenal juga, gak?" Tanya Zana kepo.

"Mungkin, sih."

"Badboy, gak? Eh, yakali lo mau sama modelan kayak begituan. Bisa di ruqyah tujuh hari tujuh malam lo sama kakek lo." Zana mengusap dagunya berusaha mencari siapa  berkemungkinan cowok yang disukai Eliza.

PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang