Dua

49.8K 5.6K 322
                                    

Bukan ingin mengingkari, terkadang langit cerah tak serta merta membuat hati pun ikut dirundung bahagia. Sebab, semua bukan hanya sekadar perkara cuaca. Hati manusia terlampau riskan untuk dapat dipercaya. Selayaknya awan yang tiba-tiba menghitam lalu tertiup angin yang kencang. Hati pun, dapat terbawa oleh keadaan yang ada di sekitar.

Mendadak, suasana riang bisa berubah menjadi petaka, hanya karena sang hati tiba-tiba terluka. Merasakan amarah padahal sebelumnya dilanda bahagia. Atau, bisa saja bermuram durja sementara di depan sana, banyak pihak yang melontarkan lelucon sampah.

Dan itulah yang tengah dirasakan Nada.

Teman-teman kerjanya sedang sibuk melempar tawa, sementara di kepalanya ragam skenario berbeda sedang berpesta pora. Ia jelas sakit kepala. Berkali-kali surat di atas meja ia baca dan isinya benar-benar tak pernah ia sangka.

Bekerja sebagai sales counter di sebuah dealer motor sejak empat tahun yang lalu, Nada tahu performanya dalam bekerja makin memburuk dari hari ke hari. Bahkan nyaris setahun ini, ia hanya mampu menjual sembilan unit sepeda motor yang setengah di antaranya adalah konsumen yang memilih membeli secara cash. Padahal, untuk mendapatkan insentif, mereka harus gencar-gencarnya merayu konsumen agar memilih kredit sampai setidaknya 36 bulan. Dengan iming-iming potongan angsuran dua atau tiga bulan, biasanya banyak yang tertarik. Atau sertakan saja cashback senilai dua ratus ribu bila memilih mencicil alih-alih membayar kontan.

Bila dihitung-hitung, dalam sebulan belum tentu ia dapat menjual satu unit sepeda motor. Jika boleh membela diri, Nada pasti akan melakukannya. Keberadaan pegawai-pegawai baru yang masih berusia awal 20-an membuat keberadaannya yang kini sudah berusia 34 tahun, kadang kala justru terasingkan. Konsumen laki-laki, kerap memilih sales yang lebih muda dan lebih menarik untuk bertanya-tanya.

Cuci mata dalih mereka.

Lalu Nada hanya bisa memasang senyum penuh kepura-puraan.

"Mbak Nada?"

"Ya?" ia menutup selembar surat yang tadi pagi diterimanya. Mencoba memperlihatkan senyum baik-baik saja, ia menatap juniornya yang menyapa. "Kenapa, Sar?" namanya Sarah. Salah satu dari empat orang sales counter yang usianya jauh di bawa Nada.

"Mbak Nada dapet surat?" gadis berambut sebahu dengan highlight cokelat terang menatap seniornya prihatin. Wajah full make up dengan lensa kontak biru muda terlihat cemas. "Langsung diminta resign, Mbak?"

Nada menggeleng. Senyumnya tak pudar bahkan ketika ia meraih mug berisi teh yang kini telah dingin. "Mungkin karena Mbak titipannya Pak Heru, jadi dikasih pilihan," ia menyengir tuk menutupi pedih.

Ia memiliki rambut panjang yang begitu senang ia kuncir tinggi. Dan hari ini pun demikian. Tak terlampau mahir mengoles kuas-kuas di wajah, Nada hanya mengenakan cushion untuk menutupi noda-noda hitam yang mulai muncul di permukaan kulit wajahnya. Bibirnya berlapis lipstick berwarna rose pink yang kemudian ia sapukan juga tuk mewarnai sedikit pipinya. Ia tidak pintar melukis alis, jadi ia biarkan saja alis tebal berserakan tampil apa adanya. Tidak ada eye liner juga eye shadow yang melintasi kelopaknya, namun ia cukup sadar diri dengan menambahkan maskara demi mempertegas bulu matanya yang pendek.

"Mereka kasih pilihan, kalau mau tetap kerja, harus pindah. Ada dealer baru yang mau buka, Mbak diminta ke sana untuk bantu administrative di sana."

"Wah, ya udah, Mbak. Terima aja," ujar Sarah bersemangat.

Senyum kecut Nada hadir tanpa mampu ia cegah. "Masalahnya, di luar kota, Sar. Perlu perjalanan empat jam ke sana kalau naik kereta," ungkapnya mendesah. Masalahnya, ia tak mungkin mampu pulang pergi ke sana setiap hari. Dan untuk tinggal di kota itu pun, rasanya tak mungkin. Ada anak-anak yang harus ia utamakan.

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now