Empat

43.4K 5.2K 119
                                    

Hujan tak hanya menjatuhkan air, namun juga rintik kenangan. Buat ribuan benak berkelana memutar ingatan. Cerita tentang orang-orang yang pernah menggores luka serta suka, tak jarang menghadirkan senyum kala kebodohan masa lalu singgah.

Mereka bilang, hujan adalah lambang kedukaan. Namun bagi sebagian lainnya, hujan merupakan momen terbaik dalam menjemput ingatan masa silam.

Dan hujan yang saat ini mengguyur bumi, setelah pagi tadi matahari bersinar begitu menjanjikan. Menghadirkan perasaan tak terduga untuk seorang Oksata Altherio. Ia menjadi salah satu dari sepuluh siswa yang dipilih untuk mengikuti bincang-bincang berkedok mencari muka ala calon-calon pejabat yang menyebar senyum palsu yang dibuat-buat.

Aula itu sudah ramai dengan siswa-siswi lainnya, ketika Oka selesai menyimpan sepatunya pada rak-rak kayu yang berdiri di sebelah kiri dekat pintu masuk. Duduk melantai menghadap panggung besar yang biasanya kosong, namun kini telah terisi oleh sofa-sofa cantik yang entah kapan tersusun rapi di sana. Kabel-kabel untuk microphone terjalin beraturan di sisi kanan. Layar plasma berukuran besar, menempel di dinding. Lantai kemarik yang seingat Oka berwarna kusam, kini telah ditutupi karpet-karpet lebar.

Ck, beginilah sebuah pencitraan.

Oka didorong agar segera masuk ke dalam. Guru Geografi yang biasanya berpenampilan sesukanya, kini mendadak rapi. Baju dinas khas ASN di masukan ke dalam celana. Gesper hitam, membelit pinggangnya. Kacamata yang bila mengajar sering kali nangkring di atas kepala, kini sudah bertengger apik disanggah hidung. Rambutnya pun tak ketinggalan klimis. Oka akan tertawa jika saja ekor matanya tak mendapati siluet kembarannya.

"Lova?" bisiknya tak percaya.

Lova sedang tertawa-tawa dengan teman-temannya. Asyik bercerita dengan kehebohan seperti biasa. Tak pernah peduli di mana keberadaannya, Lova adalah salah satu murid paling hits di kelas 7-4. Banyak yang mencarinya bila ia tidak sekolah satu hari saja. Ia juga sering menjadi tempat curhat untuk beberapa teman-temannya. Ia bilang pada mereka akan menjaga rahasia dengan baik. Tetapi, begitu sampai di rumah, ia tak pernah bisa menahan lidah agar tak berbicara dengan kembarannya.

Hari ini, rambut panjangnya di kuncir tinggi. Menambahkan bando merah sebagai aksesoris kepala, Lova mengikat rambutnya dengan scrunchie berwarna navy. Ia sangat menyukai warna-warna kontras ketika mamadu-madankan sesuatu di kepala. Atau terkadang, ia juga menambah banyak sekali gelang di tangan, walau pun ia telah mengenakan jam. Oka sering kali mengomelinya, namun Lova tak peduli.

"Lova!"

Gadis yang sedang asyik bercerita itu pun langsung menolehkan kepala. "Eh, Abang!" serunya sembari melambaikan-lambaikan tangan. "Abang dipilih ngewakilin kelas juga?" tanyanya setelah kakak laki-lakinya itu sudah berjalan mendekat ke arahnya.

"Kamu ngapain di sini?" Oka mendesis tajam.

"Lho, aku juga dipilih sebagai perwakilan kelas."

"Ck, kok bisa sih?"

Lova cemberut. Ia memang tidak sepintar kakaknya itu. Namun di kelasnya, ia cukup popular setelah berhasil membuat puisi bertema kemerdekaan yang kini masih dipajang di mading sekolah. Dan pertanyaan kakaknya tersebut, membuat Lova seketika saja sebal. "Iya, deh, yang selalu juara satu," cibirnya malas. "Udahlah, sana Abang ke temen-temen Abang aja. Jangan ganggu aku."

Lagi-lagi, Oka berdecak. "Dek?" ia panggil gadis itu pelan. "Kamu lupa sama yang Abang bilang tadi?"

"Inget lho, Bang."

"Ya, terus kenapa bisa di sini? Harusnya kamu nolak, Dek."

"Abang, aku janji nggak akan buat ulah. Aku bakal diem supaya nggak terlihat. Abang tenang aja, Abang bisa ngandelin aku," katanya jemawa. Tak lupa, ia juga menepuk dadanya. "Abang bisa percaya aku."

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now