Dua Belas

45.7K 5.4K 338
                                    

HALLO, aku cuma mau ngasih tau yess, kalau dibagian bawah nnti ada flashback. Biar kalian gk tiba2 bingung aja

Happy reading yaaa

Angin sejuk dapat membuai gerah dari rasa panas yang menyiksa. Namun, angin badai yang mengamuk membuat porak-poranda seluruh bangunan yang dibangun lewat tetes air mata. Aksa begitu terampil menekan emosinya. Ia teramat mahir bila harus pura-pura tertawa. Jadi, saat takdirnya tiba-tiba berubah, ia siasati hatinya yang remuk redam dengan wajah bahagia.

Ia baik-baik saja di depan mereka.

Ia tertawa saat ada yang melempar lelucon tentangnya.

Namun hal itu hanya ketika ia berada dalam lingkup yang ditonton banyak pasang mata. Selebihnya, ia terlalu gemar termangu dalam ruang hampa yang menyandra kepala. Tak sanggup mengikhlaskan semua yang telah pergi, ia simpan segala kenangan itu dengan sesal abadi.

"Pernah nggak sih, sekali aja, Ayah ngebayangin hidup bareng kami?"

Sering.

Pertanyaan itu buatnya segera menoleh pada sang putra. Wajah mereka bisa saja sangat mirip. Alis lebat putranya nyaris menyatu. Dalam keadaan tidur seperti ini, Oksata Altherio adalah perwujudan dirinya dalam versi yang lebih muda.

"Sekali aja, Ayah pernah nggak ngebayangin sebahagia apa kita kalau sama-sama?"

Cengkramannya pada kemudi mengerat.

Padahal dulu, tak pernah sekalipun ia pernah membayangkan sebuah perpisahan.

Bercerai dari Nada adalah sebuah kemustahilan. Ia tak mungkin rela melepas wanita itu di saat ia sendirilah yang jatuh bangun tuk mengejarnya.

"Kerupuknya tinggal satu."

"Ya, udahlah, sekerupuk berdua."

Nada mencibir, sementara Aksa tertawa.

Aksa menerima sepiring nasi yang disodorkan padanya. Meletakkannya terlebih dahulu di karpet, sebab ia perlu membantu Nada supaya duduk di depannya. Wanita itu sudah sukar sekali melakukan aktivitas-aktivitas sehari-hari. Perut bundar berisi dua janin tersebut, semakin terlihat bulat di usia delapan bulan ini.

"Wuiih, bayam lagi ...!" seru Aksa setelah ia menjatuhkan atensi pada lauk yang berada di atas piringnya.

"Omongan kamu tuh jatuhnya sarkas lho," cebik Nada sebal.

"Ah, masa?"

"Iyalah!"

Aksa tergelak. Ia meraih sendok dan memberikan suapan pertamanya pada Nada. "Makan yang banyak, ya?" ucapnya sambil menatap wanita itu lekat. "Nggak apa-apa hari ini makan bayam dulu. Yang penting, besok bayam lagi. Lusa, bayam lagi."

"Mas, ih!"

"Lho, itu pujian. Namanya juga akhir bulan. Nanti kalau udah gajian baru kita makan enak lagi."

Air matanya mengalir di pipi.

Dengan rahang mengerat, ia berusaha mengatur napasnya pelan-pelan. Menghapus air mata supaya tak ada jejak kesedihan yang tertinggal. Aksa teramat menyadari anak-anaknya sudah kritis dalam mengomentari banyak hal sekarang ini. Dan dirinya, sedang tak ingin anak-anaknya mengkritisi rasa sesalnya.

"Kenapa sih, Ayah sama Bunda sama aja?"

Tergagap, Aksa tak siap karena ternyata putranya telah terjaga. "Oh, Abang udah bangun?" menepikan keterkejutan ia lempar senyum lebar. "Minum dulu, Bang," ia meraih satu botol air mineral dan menyerahkannya pada sang putra.

Aksara SenadaKde žijí příběhy. Začni objevovat