Empat Puluh Dua

35.2K 5.1K 279
                                    

Yuhuuuu, yuukk ketemu Pak Duda lagi wkwkwkk

***

"Kamu nggak perlu ikut campur, Rir!" sentak Amrullah menatap garang pada adik iparnya yang mendadak hadir tanpa diundang. "Nggak ada yang minta pendapat kamu di sini!" karena bukan seperti tamu pada umumnya, Sahrir datang untuk membuat kericuhan. Membawa serta beberapa orang bersamanya. Walau kedatangannya itu juga membawa serta Aksa yang sulit sekali dihubungi beberapa hari ini.

"Mas Amru, Mas sadar nggak sih, udah kelewatan?" Sahrir tak gentar. Ia lawan sang ipar yang menurutnya sudah keterlaluan. "Mbak Ayas masih terbaring di rumah sakit. Akhtar baru aja meninggal. Dan sekarang, Mas Amru mau terus nyecar Aksa untuk segera menikah?" kepalanya menggeleng miris. "Dia baru aja kehilangan kakaknya!" suara Sahrir meninggi karena geram. "Dan Mas tahu apa yang paling menyedihkan dari dia?" ia menunjuk Aksa dengan telunjuk teracung. "Dia juga kehilangan istri sama anak-anaknya!"

"Pak Sahrir," suara ibu kandung Anyelir menyela tak lama kemudian. Wanita berjilbab panjang itu, tampak resah. "Bukan maksud kami nggak iba dengan kematian Akhtar, hanya saja, kalau pernikahan ini ditunda terlalu lama, orang-orang akan tahu kalau Anyelir sedang mengandung."

"Itu resiko," balas Sahrir tanpa memberi lawannya kesempatan menang. "Di sini, kalian yang sangat membutuhkan Aksa 'kan?" senyumnya terpatri segaris. Ia tatap mereka semua satu per satu. "Harusnya, kalian memberinya penawaran menarik. Bukan malah mencecar dan mengancam seperti ini."

"Rir, kamu nggak tahu apa-apa tentang masalah ini," Amrullah menyela. Raut wajahnya mengeras. "Jangan ikut campur!" hardiknya tegas. "Aksa!" ia panggil anaknya tak kalah geram. "Kamu mau bikin masalah ini rumit?"

"Aku mau Papi dan Om Rangkuti berlaku adil," jawab Aksa bertampang lusuh.

Sahrir Hamdzah mengangguk pada keponakannya. Lalu, ia patrikan tatapannya kembali pada sang kakak ipar. "Dan aku di sini sebagai wali dari Aksa," katanya lugas. "Jadi, mari berdiskusi."

"Wali apa? Jangan gila kamu!"

"Kebetulan sekali, ibunya Aksa adalah kakak kandungku. Dan sekarang ini, dia sedang berada di rumah sakit. Jadi, aku yang bakal ngewakilin Aksa untuk pertemuan gila yang diatur ayahnya sendiri."

"Sahrir!" bentak Amrullah kalap.

"Apa, Mas?!" balasnya dengan suara meninggi yang sama. "Anak kamu lagi terguncang, Mas!" kembali ia tunjuk Aksa dengan jemari. "Sementara anak kamu yang satu lagi, baru aja dikubur di tanah. Istrimu saja masih berada di rumah sakit, Mas. Dan di sini, kamu sedang melakukan apa, Mas? Membahas pesta pernikahan? Astaga, Mas Amru, di mana sih hati kamu, Mas?" cercanya tak percaya. "Tapi okelah, kalau kalian memang mau mengadakan acara pernikahan," desahnya pura-pura putus asa. "Namun, Aksa punya syarat," ia melirik Aksa dari ekor matanya.

Dan Aksa menerima umpan itu dengan sangat baik. "Mau mengelak sampai kapan pun, aku tahu pada akhirnya aku memang harus menikahi Mbak Anye 'kan? Jadi, dari pada aku terus menghindar, baik, mari siapkan pernikahan. Tapi, dengan satu syarat," ungkapnya dengan kalimat panjang. "Aku cuma minta satu syarat aja, Pi. Setelah itu, Papi boleh ngatur aku semaunya Papi," lanjutnya mencoba tenang. Mereka sudah berunding kemarin. Kini, mereka memiliki bukti yang bisa digunakan tuk mengancam kesemana-menaan Rangkuti Malik.

"Aksa sudah setuju menikahi Anyelir," Sahrir kembali berbicara. Seperti yang ia bilang tadi, ia ke sini untuk mewakili kakaknya yang terbaring di rumah sakit. Walau pada kenyataannya, Yashinta sama sekali tak mengetahui masalah ini. Mereka semua sepakat tuk menutupinya sementara waktu. "Tapi, dengan satu syarat," tak tanggung-tanggung, Sahrir juga membawa saksi untuk melegalkan syarat yang akan mereka minta. "Mereka akan bercerai, tepat dua bulan setelah Anyelir melahirkan," ujarnya tanpa basa-basi lagi.

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now