Tiga Puluh Tujuh

30.6K 4.7K 243
                                    

Part ini, kita udah kembali ke masa kini yaakk

Kembali pada Aksa yang kini tengah menatap kedua anaknya penuh sayang. Pria itu tak sungkan memberi senyuman lebar tuk dipatri oleh putra dan putrinya. Netranya menggulungkan kasih sayang penuh ketulusan. Sapuan lembutnya di kepala mereka, mengindikasikan belai kehangatan.

"Jadi, semua hal yang Abang sama Adek dengar dari orang tentang pernikahan Ayah sama Bunda itu nggak semuanya benar, ya, Nak?" dengan hati-hati ia berusaha menjelaskan. "Malam itu, pernikahan Bunda sama Ayah adalah takdir yang paling indah," ia benar-benar mengisahkan pada mereka cerita sebenarnya dibalik selentingan kabar yang mereka dengar. "Ayah nggak pernah ngerasa terjebak atau dijebak. Ayah anggap kejadian malam itu adalah jalan terbaik yang udah disiapkan Tuhan buat Ayah sama Bunda."

"Ayah nggak terpaksa nikahin Bunda?" Tanya Lova dengan mata yang berembun basah.

Dengan sabar, Aksa menggeleng. "Ayah bahagia, Dek," ujarnya jujur. "Malah Ayah selalu nganggap malam itu berkah. Karena kalau nggak begitu, nggak mungkin Bunda mau nikah sama Ayah," ia lirik mantan istrinya dengan pendar jenaka.

"Kalau gitu, Bunda dong yang terpaksa nikah sama Ayah?" Lova bertanya lagi.

Dan Aksa menjawabnya sambil tertawa. "Waah, kalau itu coba Adek yang tanya Bunda," ia menegakkan punggungnya yang sedari tadi memang membungkuk demi memberikan pengertian pada dua buah hatinya. "Gimana, Bun? Terpaksa nggak nikah sama Ayah?"

Nada menatap mantan suaminya lekat. Wajah pria itu terlihat bahagia tanpa beban. Buat Nada tentu saja turut menjawabnya dengan kejujuran yang sama. Memandang ibunya yang masih berada di dapur dengan mereka, Nada memilih mengabaikan keberadaan wanita yang telah melahirkannya itu. Ia hampiri kedua anaknya, sebelum kemudian melengkungkan senyuman tipis. "Nggak, Dek," ia belai wajah anak gadisnya. "Bunda nggak pernah ngerasa terpaksa nikah sama Ayah," imbuhnya sambil mengusap kepala putranya. "Kayak yang Ayah bilang, pernikahan kami udah digariskan. Caranya aja yang terkesan nggak benar. Padahal kenyataannya, waktu itu perasaan kami sama."

"Bunda juga cinta sama Ayah?" Oka melempar pertanyaan.

Dan Nada menjawabnya dengan baik. "Waktu itu, iya. Bunda juga cinta sama Ayah."

"Kalau sekarang?" Lova masih belum puas mendengar jawaban orangtuanya.

"Sekarang, Ayah sama Bunda sepakat berteman," balas Nada lugas. "Kami sepakat saling menyayangi. Ya 'kan, Yah?" netra Nada berpendar hangat dengan sengaja. Merayu Aksa tuk menyetujui ungkapannya.

Keinginan Aksa adalah membantah.

Namun, ia tak ingin membuat kedua anaknya bingung lagi.

Dengan terpaksa, ia mengangguk. Ia pura-pura menyengir seakan hatinya tak mendumel akibat ucapan sang mantan. Tetapi, ya, beginilah kehidupan sebagai orangtua. Ada kalanya, kebenaran harus diungkap. Namun, ada masanya juga, saat kebenaran akan kehidupan lebih baik ditunda.

"Dan," Aksa sengaja menggantung kalimatnya demi menatap kedua buah hatinya lamat-lamat. Lalu, pandangannya beralih ke arah sang mantan istri yang masih memiliki ruang istimewa di hati. "Abang sama Adek hadir setelah kami menikah. Ayah terlalu mencintai Bunda, sampai-sampai Ayah nggak pernah siap ngelukai Bunda," matanya memancarkan kejujuran. Sebab, memang seperti itulah yang terjadi di masa lalu. "Pertama kali Ayah sama Bunda tahu kalau kalian ada di perut Bunda itu, waktu pernikahan kami berjalan enam bulan. Ya 'kan, Bun?"

Nada mengangguk. Ia menangis ketakutan waktu itu. Merasa tak siap jadi ibu. "Lebaran pertamanya Ayah sama Bunda setelah nikah, ya, Yah? Kita pulang salat Ied, eh, Bunda muntah-muntah."

"Betul," Aksa tertawa kala mengingatnya. "Bunda nangis-nangis, nggak kuat karena muntah-muntah terus. Mau bawa ke bidan, semua pada tutup karena lebaran. Eh, seminggu kemudian pas di cek ke bidan, ternyata kalian berdua lagi bobok manis di perut Bunda," ujar Aksa dengan gemas. Ia menarik hidung kedua anaknya sambil tersenyum bahagia. "Pokoknya, kalian adalah kebahagiaan Ayah sama Bunda. Kalian nggak pernah jadi kesalahan. Justru, kalian itu kehidupan yang Ayah sama Bunda tunggu. Jadi, jangan pernah percaya siapa pun yang bilang kalau kalian nggak berharga, ya, Nak? Kalian itu hidupnya Ayah sama Bunda."

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now