Tiga Puluh Lima

35.2K 4K 179
                                    

Ini flashback lagii yaaa hahahaa
Biar greget sih kalian

Ini bukanlah romansa biasa yang hilang sesaat karena tak lagi berjumpa.

Aksa tahu, rasa menggebu di dadanya bukan hanya tentang rindu, namun juga haru karena akhirnya mereka bertemu. Senyumnya melebar utuh. Satu setengah tahun merindu, hari ini netranya siap mengabadikan temu.

Menyimpan lewat memori terdalam. Membungkusnya dengan kotak ternyaman. Dan dirinya tak akan ke mana-mana lagi. Terus mamatri sosok itu hingga abadi.

"Hai," sebelah tangannya menyapa tinggi. Senyum yang memaku di wajah, buatnya tampak bodoh sedari tadi. Tetapi, Aksa tak peduli. Ia menyukai bagaimana cengirannya menyertai. "Aku nyasar tiga kali," ocehnya karena gugup. Padahal, yang ada di ujung lidah adalah seruan rindu. "Tapi tenang aja, aku nggak bakal frustrasi sampai benar-benar ketemu kamu. Dan taraaa ... aku udah ada di depan kamu sekarang," cengirnya sambil menggaruk kepala.

Akhirnya setelah sekian lama, Aksa dapat bernapas lega. Bertemu kembali dengan Nada merupakan semoga yang ia panjatkan dalam doa.

"Alamat kamu adalah hadiah kelulusanku dari Mami," ujarnya bersemangat. Senyumnya tak lekang, walau bibir perempuan di hadapannya itu masih tertutup rapat. "Aku langsung ke sini tanpa pikir panjang. Aku datang dari pagi, nyasar ke sana kemari. Tapi nggak masalah, akhirnya kita ketemu lagi," sirat di netranya berlumur bahagia. Menatap rakus bidadari yang ia rindukan setengah mati. "Aku," ia lalu menarik napas panjang. "Seneng banget ketemu kamu lagi."

Nada bergeming kaku.

Bibirnya terkatup, napasnya berembus memburu. Namun untungnya, ia mampu mengendalikan diri. Walau keterkejutan benar-benar buat jantungnya berdegub ngilu.

Sebentar, biarkan ia menghela.

Sekejab, biarkan ia coba meraba dadanya.

Ia sedang menimbang gula pasir di belakang, kala salah seorang kawan yang bekerja dengannya di grosir ini mengatakan ada yang mencarinya di depan. Nada pikir, mungkin saja ada yang salah setelah ia melayani seorang pembeli yang memborong bahan pangan untuk kebutuhan pesta pernikahan. Sebab, sering kali ada pembeli yang mengajukan komplen jika membeli dalam partai besar. Entah itu minyak goreng yang kurang seperti yang tertera di catatan bon mereka. Atau ada tepung yang keliru ketika ikut dimasukan dalam plastik belanjaan.

Mana pernah terpikir olehnya bahwa yang mencarinya adalah sosok yang ia tinggalkan satu setengah tahun yang lalu. Pemuda pertama dalam hidupnya yang mengajaknya merajut romansa saat mahasiswa. Yang menyatakan cinta, tanpa Nada tahu apa artinya. Dan kini, sosok itu ada di depan matanya.

Memandangnya penuh rasa.

Menyorotnya seakan ia berharga.

Sebab Nada pikir, cinta yang tersemai tidak terlalu ramai. Mereka akan lupa seiring berjalannya waktu. Rindu yang menggebu di awal tak bertemu, pelan-pelan buat Nada terbiasa. Lalu caru-marut kehidupan, membuatnya enggan berharap pada romansa merah muda. Fokus utamanya adalah bekerja. Sepulang dari sana, ia 'kan mengurusi pekerjaan rumah. Kemudian tertampar lelah dan tidur hingga pagi ranum mulai menyapa.

"Kamu kaget, ya?" Aksa meringis tipis karena Nada belum juga meresponnya. "Hehehe ... mobilku parkir di rumah kamu. Terus tadi, adik kamu yang bilang kalau kamu kerja di sini—"

"Mau ngapain ke sini?" Nada memotong ucapan tersebut dengan raut dingin. Ia menyeka peluh di kening dengan lengannya. Kedua telapak tangannya kotor. Berkutat di belakang sambil menimbang puluhan kilo gula dan minyak goreng, selalu membuatnya merasa pengap. Rambut ekor kudanya pun telah kuyub, wajahnya sudah pasti terlihat mengkilap karena sudah bekerja seharian. Kini, matahari hampir tergelincir, namun jam tutup grosir masih satu jam lagi. "Aku masih kerja."

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now