Tiga Puluh Empat

32.3K 5K 213
                                    

Ini masa sekarang yaaa
Sengaja biar kalian penasaran hahahaa

Pagi menjelang.

Rutinitas biasa pun kembali terulang.

Wajan dan spatula berirama ramai, menyibak desing pertemuan ikan dan minyak panas. Tak jauh dari kompor yang menyala biru, blender itu mendengung bising sembari melumat cabai dan bawang. Di tempat lain, mesin cuci bergemuruh seraya menggulung pakaian. Mesin air tak ketinggalan menyalak bising, menambah simfoni tak merdu di ranumnya fajar yang masih sibuk menebar embun kesejukkan.

Nada menjadi penguasa kebisingan itu. Kedua tangannya begitu cekatan menari di atas penggorengan. Selesai menggoreng ikan, ia tuang cabang dan bawang yang telah halus tersebut ke atas wajan dengan sedikit minyak. Menumisnya sampai bumbu-bumbu itu matang. Ketika aroma mulai tercium, gula, garam serta sedikit penyedap rasa telah ia tuang. Mulai mengoreksi rasa, kemudian menerjunkan ikan-ikan tersebut hingga berlumur merah.

Ia tentu tak lupa pada tamunya, namun bekal bapak harus ia persiapkan dengan cepat. Karena pukul tujuh nanti, ibunya yang akan mengantar. Bapak bekerja di kebun karet milik tetangga yang lokasinya cukup jauh dari rumah. Bapak berangkat sekitar dua jam lalu, ibunya yang menyiapkan sarapan. Namun untuk bekal makan siang, Nada yang memasak.

Sesekali, ia akan melihat keberadaan tamunya. Lalu menghela lega, ketika sosok itu masih memejamkan mata. Seolah tak terganggu dengan keramaian yang dibuat Nada.

Yang Nada tidak tahu adalah, Aksa telah terbangun sejak tadi. Tepatnya, ketika Nada mulai memasuki dapur. Diam-diam, ia mengamati lincahnya kaki-kaki itu melangkah ke sana dan kemari. Ruangan tempatnya terlelap masih gelap. Cahaya berasal dari bias lampu teras dan juga dapur. Hingga kemudian, ia tak bisa menutupi letupan hatinya lagi. Pelan-pelan, Aksa menyibak selimut. Ia bangkit perlahan. Membiarkan kaki-kakinya menderap dinginnya lantai pagi ini.

Sudah berapa lama ia tidak terbangun dengan keramaian ini?

Sudah berapa lama ia tidak merasa sedamai ini?

Seolah-olah, ia memang pulang.

Seakan-akan, ia sudah selesai mengelana melintas di dunia.

Dan kini, langkahnya memilih menetap. Pada sebuah punggung rapuh, yang ingin ia sebut rumah. Sekali lagi. Tolong, biarkan sosok itu menjelma sebagai tempatnya menenggelamkan senja. Biarkan ia bercerita tentang hari-hari yang terlewati kala bekerja. Atau, biarkan ia mendengar celoteh itu setiap hari. Mengabarkan padanya tentang keluh kesah mengurus anak-anak yang telah remaja.

Entah itu mengenai Lova yang ditaksir kakak kelas.

Atau Oka yang mulai melirik seorang teman sebaya.

Astaga, jantung Aksa makin berdebar gila. Ia tak kuat, bila semua itu hanya akan menjadi angan yang tak akan mungkin jadi nyata.

Keinginan tuk mendekap Nada membuatnya nyaris nekat. Namun saat ia memejamkan mata seraya menarik napas dengan panjang, rupanya ia bisa mengendalikan letupan-letupan tak terkendali yang membabi buta. "Nad?"

Nada nyaris memekik, ketika tiba-tiba saja ada yang menyentuh lengannya. "Mas!" sentaknya terkejut. "Astaga, aku bener-bener kaget, Mas!" keluhnya memegangi dada. Ia mengelus bagian itu dengan napas memburu. "Kamu ini!"

Aksa tak lagi mengenakan kemejanya, hanya kaos dalaman putih yang kini menyelimuti raga. Juga, selembar sarung yang diberikan mantan mertua untuk mengganti celana bahannya ketika tidur tadi.

"Tidur kamu keganggu, ya?" Nada mengecilkan api kompornya. Ia berjalan ke arah rak piring dan mengambil satu gelas kosong dari sana. Lalu, ia bawa gelas itu untuk diisi air putih. Kemudian menyerahkannya ke Aksa. "Kamu mau mandi, Mas?" laki-laki itu terbiasa minum air setelah bangun tidur. Dan itulah yang Nada lakukan sekarang. "Minum dulu," ia menawarkan.

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now