Tiga Puluh Tiga

33.1K 4.4K 76
                                    

Gengss, part ini flashback yaaa zaman Nada - Aksa masih muda belia syalalaa hahahaa

Nada tidak ada di mana-mana.

Aksa sudah mencarinya tak tentu arah.

Merasa putus asa, ia kembali ke Yayasan milik ibunya. Tak mungkin para pekerja di LBH tidak mengetahui ke mana Nada pergi. Atau paling tidak, mereka harusnya tahu di mana Nada tinggal. Tetapi anehnya, tak seorang pun yang mengatakan padanya. Seolah mereka berpikir bahwa ia hanya bermain-main saja selama ini dengan Nada.

Berapa tahun mereka bersama?

Sejak awal kuliah 'kan?

Dan sudah berapa lama hubungan mereka?

Memasuki pertengah semester dua.

Sekarang, mereka berada di pertengahan semester lima.

Bukankah seharusnya orang-orang itu paham bahwa Aksa tak main-main dengan hubungannya dengan Nada. Tetapi, kenapa semua yang ada di Kasih Perempuan tak memberitahukannya tentang keberadaan Nada?

Bukankah ini aneh?

Pasti ada yang disembunyikan darinya.

Dan Aksa merasa harus tahu.

"Mi, Nada nggak ada di mana-mana," adunya yang langsung membuka pintu ruangan sang ibu. Ia menarik kursi dengan kasar. Letihnya sungguh-sungguh luar biasa. Namun, hal itu tak sebanding dengan ketakutannya. Ia khawatir Nada terluka. Ia takut, terjadi apa-apa pada gadis itu. "Mami yakin nggak tahu alamat rumahnya?" ia akan mencari Nada. Dan akan terus mencarinya. "Nggak mungkin nggak ada yang tahu alamat orangtuanya, Mi. Dulu, kan Kasih Perempuan yang ngebawa dia ke sini," tampangnya sudah awut-awutan. Kemeja flanelnya ia buka, menyisakan kaos putih yang basah oleh keringat. "Mami, tolonglah kerjasamanya ..."

Sejak kemarin ia sudah mencari-cari gadis pujaannya yang mendadak meninggalkan Kasih Perempuan dengan selembar surat berisi permohonan maaf dan juga terima kasih untuk sang ibu dan juga para pekerja di tempat ini. Entah apa yang terjadi, Nada juga meninggalkan ponsel serta buku-buku kuliahnya. Perempuan itu hanya membawa pakaian saja.

Namun yang buat Aksa benar-benar frustrasi, Nada sama sekali tak berpamitan padanya. Bahkan, tidak ada selembar surat pun yang ditulis untuknya.

Astaga, padahal, mereka sedang baik-baik saja.

Aksa makin mencintainya, dan Nada pun mulai lebih ekspresif dalam menunjukkan perasaan.

"Mami," Aksa tak peduli lagi bila yang keluar dari bibirnya adalah rengekkan. "Nada ke mana, Mi?" wajahnya memelas dan ia tak lagi sanggup tuk berpura-pura baik-baik saja. "Mamiii ...."

"Ya, ampun, Mami 'kan udah bilang Mami nggak tahu dia ke mana," Yashinta menggeleng pelan. "Mami nggak ngumpetin Nada kalau itu yang kamu pikirin," tatapnya menyipit. "Udah sana, kamu, ganggu Mami kerja aja," ia usir anaknya cepat.

"Mami ...," Aksa merengek hampir menangis. "Nada ke mana, Mi?" mimik wajahnya luar biasa sedih. "Dia nggak mungkin ninggalin aku begitu aja, Mi. Pasti, ada yang salah 'kan, Mi? Atau, Mami yang usir dia, iya?" kini ia benar-benar menuduh ibunya.

"Kamu pikir Mami ini apa, ih?" Yashinta tak terima dengan tuduhan sang putra.

"Ya, habisnya Mami tuh mencurigakan," cebiknya dengan wajah masam. "Kenapa Mami tenang-tenang aja, sih? Ini calon menantu Mami lagi hilang. Mami pusing kek. Atau bantu aku lapor polisi."

"Mas Aksa," akhirnya Yashinta menutup berkas berisi kasus yang hendak ia pelajari. Kini, tatapnya memaku pada putra keduanya. "Nada nggak hilang, Sa," ia coba memberi pemahaman. "Nada pergi atas kemauannya sendiri," ia membuka salah satu laci, lalu mengeluarkan selembar kertas bertulis tangan rapi pada sang putra. "Kamu juga udah baca sendiri suratnya, kan? Nada memutuskan berhenti kuliah. Dan Mami sama sekali nggak pernah memaksanya. Bahkan, Mami terkejut dengan keputusannya ini."

Aksara SenadaOnde as histórias ganham vida. Descobre agora