Tujuh

40.9K 5.2K 156
                                    

"Abang serius, uang kita banyak?"

Wajah Lova berseri-seri. Matanya memancarkan antusias yang luar biasa setelah mendengar cerita kakaknya tentang nominal uang yang selama ini ternyata masih rutin dikirim oleh sang ayah tiap bulan. Senyum cantik terus menghiasi bibirnya sejak pagi. Bahkan, di siang seterik ini pun, ia sama sekali tak merasakan sengatan panas.

"Banyak banget, Bang?" suaranya begitu riang. Andai boleh memekik, ia sudah melakukannya sejak mereka berjalan ke sekolah pagi tadi. Namun kakaknya itu sama sekali tak mau bercerita bila ia berlaku heboh. "Banyak banget aja? Atau banyak banget-banget, Bang?"

"Ck, heboh deh!" Oka menoyor kepala adiknya. "Ini ngapain sih?" ia mencoba melepas pelukan Lova di lengannya. "Dek? Lepas!"

Lova menggeleng dengan senyum secerah cuaca siang ini. "Sebutin dong, Bang, jumlahnya," tuntutnya yang sedari tadi tak pernah dikabulkan sang kakak. "Sebanyak apa, Bang? Kalau beli motor kayak bude Indri bisa, Bang?"

"Bisalah. Beli tiga pun bisa," sahut Oka mempertahankan wajah yang seolah-olah tak terusik pada celoteh cerewet adiknya dari tadi.

Berbeda dengan kakaknya yang datar-datar saja, Lova justru memekik girang. "Abang serius?!" ia perlu memberi makan kesenangannya. "Jadi, kita bisa beli motor buat Bunda, Bang?!" tanyanya antusias. Ia akan melonjak-lonjak bila mereka tidak berada di tepi jalan raya seperti ini. "Bisa nggak, Bang?!"

"Ya, bisalah."

"Asyik!" tak lagi peduli pada keramaian di sisinya, Lova benar-benar melompat kali ini. "Ayok, Bang! Ayok kita beliin Bunda motor!" serunya menggebu. "Kalau udah punya motor, kita 'kan bisa dianter bunda ke sekolah, Bang. Nanti kita bilang bunda, ya, Bang? Beli motornya di tempat bunda kerja aja, Bang."

Oka melirik adiknya sekilas, memutar bola mata sambil mendengkus kencang. Ia memilih tak mengatakan apa-apa. Ia biarkan saja adiknya yang bersisik di sebelahnya.

Jadi, ia menarik uang empat juta kemarin.

Oka tidak tahu berapa harga ponsel Faris, namun ia ingat Faris menyebutkan merek serta tipe ponselnya ketika baru tiba kemarin. Mereka juga sempat bermain ponsel bersama, namun hal itu tak berlangsung lama. Setiap sore, Oka mempunyai tugas menyapu halaman. Sementara adiknya, menyapu rumah.

Rupanya, harga ponsel itu tiga juta lima ratus. Jadi, ada lebih lima ratus ribu dari jumlah yang sudah terlanjur Oka tarik. Bunda menolak menerima uang lebih itu. Bunda bilang, sebaiknya uang tersebut dibelikan sepatu atau tas baru saja. Walau saat ini sepatu dan tas mereka masih bagus, tetapi tak ada salahnya menuruti perkataan bunda.

Pun, Lova sedang mencari tas ransel teddy bear seperti milik temannya. Jadilah, sepulang sekolah, mereka mampir sebentar ke pasar yang berada di dekat sekolah. Banyak toko-toko yang menjual kebutuhan sekolah di sini. Dan rata-rata, harganya sudah dibandrol. Mereka tak perlu repot-repot menawar.

"Ya, Bang? Kita beli motor, ya?" rengek Lova yang sedari tadi tak mendapat respon dari kakaknya. "Kan—"

"Inget, Dek, uangnya itu buat kamu kuliah nanti," Oka memotong racauan sang adik. "Nggak boleh boros. Iya, kalau ayah bakal terus ngirim? Iya kalau ayah bakal terus hidup?"

"Abang nyumpahin ayah mati?"

"Umur 'kan, nggak ada yang tahu," sahut Oka santai. "Lagipula, mending gitu 'kan? Biar jelas status kita jadi anak yatim," lanjutnya tanpa mengubah ekspresi apa pun di wajah. "Kalau ada orang mau nyantunin kita jadi nggak bingung nanya kita punya ayah apa nggak," ia menyimpan satu tangannya ke dalam saku celana biru di bawah lutut. "Pun, banyak banget beasiswa buat anak-anak yatim yang berprestasi."

"Abang kok gitu sih ngomongnya," Lova cemberut.

Oka mengangkat bahu. "Nggak ada yang tahu nasib kita gimana ke depannya. Uang yang ada sekarang, ya udah jadi tabungan masa depan aja. Buat kamu lanjut sekolah."

Aksara SenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang