Tiga Puluh Satu

33.4K 5K 200
                                    

Yuhuuu tengah malam yaaa inii

yuk, happy reading ....


Aksa tiba di kantor, bahkan sebelum pukul tujuh.

Om Sahrir menghubunginya pagi-pagi sekali.

Ada kasus urgent yang harus beliau tangani. Makanya, Aksa kebagian menghadiri rapat internal di sebuah production house, yang mendafuk Sahrir Hamdzah And Partners sebagai kuasa hukum mereka.

Kasus ini cukup rumit karena sudah mencapai ranah public. Nyatanya, cuitan di jejaring maya, cepat sekali berembus ke seluruh nusantara. Melibatkan jajaran pemeran utama dari film yang seharusnya akan tayang serentak di seluruh bioskop Indonesia mulai beberapa hari lagi. Setelah minggu lalu, resmi menggelar premier yang dihadiri oleh seluruh pihak yang terlibat dalam pembuatan film itu.

Tetapi masalahnya, ada salah seorang pemeran utama wanitanya mendadak ramai diperbincangkan dijejaring maya, karena ketahuan memiliki hubungan dengan pria beristri. Dan parahnya lagi, ada sebuah akun anonym yang membuat utas awal dari prahara itu sampai menunjukkan bukti-bukti lewat foto-foto barang pribadi sang aktris yang ditemukan di rumah pria beristri itu.

Jujur, melawan public itu tidak mudah. Apalagi, bila itu menyangkut masalah orang ketiga dalam sebuah rumah tangga.

"Serius, Tama nggak jadi cerai, Om?"

Bahkan sepagi ini, mereka sudah memiliki dua kasus besar. Padahal, matahari masih terlampau ranum tuk diajak berperang.

Dan Aksa belum mengenakan jas dan atribut lainnya ketika menginjakkan kaki di gedung ini. Ia datang terburu-buru setelah mandi. T-shirt biru dan celana jeans gelap membungkus tubuhnya. Bahkan rambutnya pun masih setengah basah. "Dan dia baru nelpon Om sejam yang lalu?"

Sahrir mengangguk. Pria setengah baya itu membawa dua gelas kopi yang baru saja ia buat dari mesin kopi yang memang tersedia di ruangannya. "Iya, makanya Om juga buru-buru ke sini," pria itu melepas kaca matanya, lalu menghidup aroma nikmat cairan pekat itu sebelum menyeruputnya pelan. "Karena dari awal kasus Tama ini, Om yang pegang, makanya kita bagi tugas, ya, Sa?"

Sambil mendesah, Akas menyeruput kopi yang masih mengepulkan asap itu. "Yang lain aja nggak bisa, Om?" maksudnya adalah pengacara lain. "Kerjaanku juga lagi numpuk asli. Janjian sama artis-artis tuh, selalu nggak on time. Mereka banyak alasan. Macetlah, kebentur jadwal syuting lainlah. Astaga, aku paling males berurusan sama dunia selebritis gini," keluh Aksa yang sudah teramat sering menangani kasus-kasus yang melibatkan pelakon dunia hiburan tanah air. Dari mulai kasus perceraian, pencemaran nama baik oleh hatters yang berujung cabut laporan, Aksa sudah pernah mengalaminya. "Lagipula, itu filmnya Alvin, Om," kenyataan tersebut membuatnya kian malas. "Alvin lagi kurang ajar banget samaku."

Sahrir tertawa.

Jujur, ia lebih nyaman bekerja dengan Aksa dibanding anak-anaknya sendiri. Dulu, Akhtar adalah tangan kanannya. Tetapi semenjak keponakan laki-lakinya tersebut meninggal, ia sontak saja menjatuhkan kepercayaan pada Aksa yang waktu itu bahkan belum resmi bergabung dengan firmanya.

"Profesional dong, Sa," imbuhnya tergelak. "Om harus ke pengadilan, cabut gugatannya Tama."

"Harus banget, ya, Om yang turun langsung?" ledek Aksa.

"Ya, gimana, dong? Terlanjur janji, kalau Om yang bakal menangani kasusnya. Eh, setelah Subuh tadi dia malah nelpon, katanya mau rujuk lagi sama istrinya."

"Hm, enak ya, Om, kalau bisa rujuk," gumam Aksa terdengar iri.

Sahrir tertawa makin keras. Sembari berjalan ke arah sang keponakan, ia meletakkan kopinya di atas meja kerja. "Jangan baper kamu, ya, Sa?" ledeknya sembari menepuk-nepuk punggung laki-laki itu. "Kan, sekarang udah nggak ada yang ganggu. Kalau masih cinta, ayo diperjuangkan lagi."

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now