Dua Puluh Delapan

38.8K 5.3K 404
                                    

Malam baru saja datang, namun suasananya telah begitu mencekam. Aura yang membelenggu teramat kelam. Buat yang berada di ruangan saling melempar pandangan. Namun, bukan tatap penuh damba. Melainkan binar yang siap menyerukan perang.

Paviliun itu ramai di datangi beberapa orang, tetapi hingga kini belum ada yang siap melagukan kepentingan. Mereka masih saling diam, namun bara yang membakar sekam bersiap membumihanguskan sekitar lingkungan. Masing-masing dari mereka jelas mendendam, namun demi masa depan yang saling bersinggungan, mereka memutuskan bungkam.

"Jadi, apa solusi yang bisa kalian tawarkan?" Rangkuti Malik membenarkan letak kacamata yang sebenarnya baik-baik saja. Demi menguarkan aura intimidasi, mantan Menteri itu melirik kader partainya dengan tatap lurus penuh perhitungan. "Kamu bisa menjamin Aksa datang?"

Amrullah menghela, ia raih gelas kopi dan menyeruput isinya. Sedikit saja, ia hanya ingin membasahi bibirnya yang mendadak mengering. "Mas Rangkuti," ia memulai pelan. "Kenapa masih harus melibatkan Aksa?"

Rangkuti datang ke sini setelah siang tadi, anak dan cucunya tak berhasil membujuk Aksa. Malah, dari kabar yang ia dengar sempat terjadi perselisihan di antara mereka.

"Karena publik menyukai interaksi Aksa dengan Adiva dan juga Anyelir," Rangkuti tersenyum. Namun percayalah, bukan senyum tulus yang sampai ke mata. Senyum yang terpatri di sana, merupakan bentuk lain dari sarang makna. "Walau pun mereka sudah mengumumkan perceraian, namun potret bahwa mereka pernah terlihat sebagai keluarga yang sempurna masih begitu membekas. Keduanya juga belum punya pasangan. Banyak yang mengharapkan kalau mereka bisa rujuk lagi."

Bukan mereka.

Tetapi, Rangkuti.

Ia masih memerlukan Aksa serta Amrullah sekeluarga. Selain adik laki-laki Aksa yang berprofesi sebagai selebriti, kakak perempuan Aksa pun memiliki suami yang kekayaannya perlu didekati. Ia tak mau berhenti dari karir politik setelah di reshuffle, ada cita-cita lain yang ingin ia dapatkan. Dan ia memerlukan banyak dana serta publisitas yang tinggi.

"Ya, 'kan?" Rangkuti menatap Amrullah sarat makna. "Apa kamu nggak ingin mereka rujuk lagi?"

"Tapi itu nggak mungkin, Mas."

"Lho, kenapa nggak mungkin?" Rangkuti masih mempertahankan ekspresi santai. Namun, tatap matanya tetap memaku tajam. "Saya benar 'kan? Mereka masih sama-sama sendiri. Nggak masalah kalau mereka memutuskan rujuk lagi."

Ruangan yang besar itu memang dihuni beberapa orang. Tetapi nyatanya, yang berbicara hanyalah dua orang. Sebab yang lain bertindak sebagai ajudan. Diam mengamati, mendengar namun tak boleh bicara sesuka hati.

"Mas Rangkuti, Aksa menikahi Anyelir karena keadaan," Amrullah mencoba memaparkan dengan bahasa yang lebih sopan. "Aksa terpaksa harus mengambil tanggung jawab menikahi Anyelir, karena Akhtar sudah meninggal. Selebihnya, Aksa sudah punya pilihannya sendiri. Dan kita, juga sudah menahannya selama tujuh tahun. Apa itu masih kurang, Mas?"

"Masih," jawab Rangkuti tanpa beban. Rambutnya yang mulai memutih, kini terlihat terang. Biasanya, ia tampil di depan publik dengan peci atau topi. Senyum ramahnya hanya tuk publisitas. Sebab sehari-hari, ia adalah orang yang menakutkan setengah mati. Tetapi karena ini adalah kunjungan santai, ia merasa tak perlu memberi citra apa pun pada sang tuan rumah. "Perceraian mereka harusnya nggak perlu terjadi," kali ini ia menampilkan emosi yang sejak tadi ditahan. Rangkuti terlampau percaya, bahwa penguasa terbaik adalah mereka yang mahir mengelola perasaan. "Jika Aksa memang ingin mengambil tanggung jawab terhadap perbuatan Akhtar, kenapa dia tidak melakukannya secara penuh? Kenapa harus setengah-setengah?"

"Mas Rangkuti, kita sudah menyepakati perpisahan mereka sejak terbentuknya perjanjian pra nikah itu," Amrullah mengingatkan kalau-kalau mantan besannya itu lupa. "Tanggung jawab Aksa, hanya sampai Anyelir melahirkan. Namun, karena Mas terus mengancamnya, Aksa sampai—"

Aksara SenadaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora