Tiga Puluh Delapan

31.9K 5.1K 304
                                    

Happy reading yaaa

Nada tersentak bangun.

Matanya terbuka, lalu mendadak gelap menyambangi seluruh indra. Biar cahaya dari luar jendela, berhasil membuatnya yakin bahwa ia telah terjaga. Menggulir netra sehitam jelaga pada jam dinding yang dapat menyala dalam gelap, Nada menghela.

Jam digital yang ditempel putranya di dekat lemari itu, menunjukkan waktu tepat 01.00. Sudah lewat tengah malam, namun mengapa telinganya menangkap suara janggal dari luar sana? Mencoba menajamkan indra, Nada yakin ada suara berisik yang tadi benar-benar mengagetkannya. Dan ternyata dugaannya tepat. Suara-suara yang ia dengar diantara tipisnya kesadaran, rupanya memang berasal dari realita. Bukan bias imaji karena ia tengah bermimpi.

"Bun?"

Nada menyingkap selimut ketika ternyata anak gadisnya ikut bangun. "Bentar ya, Dek, Bunda mau ke luar dulu," Nada tak perlu menghidupkan lampu kamar saat hendak membuka pintu.

"Suara Om Adri 'kan, Bun?"

Benar.

Hanya saja, Nada juga mendengar suara anak laki-lakinya yang menyahuti gelagar suara keras dari adiknya.

Dan itulah yang membuatnya bergegas membuka pintu.

"Abang nggak tahu kalau Om mau pulang."

"Ya, terus, lo jadi ngerasa berhak gitu nidurin tempat gue gara-gara gue nggak ada?!"

"Adri, ngapain sih teriak-teriak gitu? Udah malam."

"Lha, terus aku mau tidur di mana, Pak? Pulang capek-capek, eh, tempat tidurku udah ditidurin orang."

"Orang mana sih, maksud kamu? Yang tidur di sini itu keponakan kamu sendiri, Dri."

"Halah! Bapak 'kan, gitu. Selalu aja belain dia!"

"Jangan bentak-bentak Kakek, Om!"

"Oh, sok hebat lo sekarang, ya?! Kenapa?!"

Jantung Nada berdebar kencang kala kakinya mengarah pada pusat keributan. Lemari kayu besar yang menjadi sekat antara ruang tamu dengan tempat tidur Adri, kini ramai oleh keberadaan bapak, ibu, juga Safira-adik perempuannya. Sekilas, ia melihat motor Adri sudah terparkir di ruang tamu, setelah dua minggu ini adiknya itu tidak pulang ke rumah.

"Kenapa, Pak?" Nada bertanya begitu dirinya telah bergabung di sana. "Abang?" matanya langsung menemukan sang putra yang berdiri sambil memeluk bantal serta selimut. "Kenapa, Bang?" ia meminta anaknya mendekat.

"Nggak apa-apa, Bun," balas Oka menghampiri bundanya.

Namun, sebenarnya Nada sudah menebak apa yang tengah terjadi. "Kamu kenapa sih, Dri? Sekalinya pulang langsung marah-marah gini."

"Ya, makanya, anak lo jangan disuruh tidur di tempat gue!" sambar Adri yang kini melepas jaketnya kasar.

"Kami nggak tahu kalau kamu pulang malam ini," walau adiknya berkata dengan begitu ketus, tetapi Nada mencoba membalasnya dengan intonasi pelan. Sudah tengah malam, ia tidak mau membuat keributan keluarga mereka didengar tetangga. "Makanya, kamu tuh kasih kabar-"

"Terus, mentang-mentang gue nggak ada, jadi anak lo berhak gitu tidur di tempat gue?" Adri sudah kepalang emosi. "Gue nggak punya kamar di rumah ini, Mbak. Dan satu-satunya tempat yang bisa bikin gue istirahat, ya, tempat ini," ia menunjuk ranjang kecil yang disebelahnya terdapat satu rak plastik tempat menyimpan baju-bajunya. "Eh, terus, pas gue nyampe rumah dalam keadaan capek, gue malah nemuin orang lain yang tidur di sini. Kesel nggak sih lo kalau jadi gue, Mbak?"

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now