Tiga Puluh

35.9K 4.9K 396
                                    

"Abang mau," jawab Oka tanpa ragu.

Remaja 12 tahun itu, menatap kedua orangnya bergantian.

Sofa panjang itu memang memuat empat orang, namun rasanya ia tidak puas bila memandang kedua orangtuanya lewat sisi kiri dan kanan saja. Ia harus memandang keduanya dari depan. Supaya bisa menilai ekspresi mereka. Maka dari itu, ia pun berinisiatif bangkit sambil menarik Lova.

Ia ingin leluasa melihat ekspresi yang ditampilkan ayah dan bunda saat ia menyuarakan isi hatinya. Tak masalah bila berdiri, kini terlihat jelas bagaimana mereka saling menatap kebingungan.

"Abang mau pindah ke sini," ulangnya kembali. Matanya memaku kedua sosok itu dengan ekspresi serius. "Bukan karena Abang kepengin banget tinggal di rumah ini, bukan, Bun. Tapi Abang memang udah nggak tahan lagi tinggal di sana," maksudnya jelas rumah yang saat ini ia tinggali. "Abang bukannya nggak bersyukur kita tinggal di rumah nenek selama ini, Bun. Sumpah, Abang bersyukur banget. Tapi, Abang udah nggak mau lagi tinggal di sana. Abang capek denger Bunda terus direndahkan Bude Indri hanya karena kita terus numpang. Abang muak sama bapak-bapak di lingkungan kita yang terus menerus godain Bunda."

Di sini, ia melihat kedamaian.

Di sini, bundanya bisa terbebas dari nyinyiran mulut tetangga.

"Jadi, semua ini demi Bunda, Bang?" mata Nada berkaca-kaca.

Namun Oka segera menggeleng. "Demi kita semua, Bun. Demi Bunda, demi Ayah, juga demi Abang sama Adek," Oka melempar tatap jenaka pada Lova. "Lova udah cinta mati sama Ayah, Bun. Sama kayak Abang yang cinta mati sama Bunda," ia mencoba terlihat santai. Tetapi ternyata hal itu tampak gagal. Sebab, ekspresi seriusnya sama sekali tak mampu ditutupi.

Nada meremas kedua tangannya yang berkeringat. Wajah sang putra benar-benar terlihat seperti Aksa ketika tengah mengungkapkan hal serius. Alisnya yang lebat itu nyaris menyatu saat kerutan di dahinya berkumpul di tengah. Hingga diam-diam, Nada tak sadar telah melempar tatapannya ke sebelah. Pada mantan suaminya yang juga sedang menatapnya dengan bingung.

"Ayah bilang, dia pengin nebus hari-hari yang dia lewatin tanpa Abang sama Adek. Makanya, Abang mau ngasih kesempatan Ayah untuk itu," Oka melanjutnya, tanpa mengubah raut wajahnya. "Bukan sekadar buat berbaikan sama Ayah, tapi, Abang mau Ayah ngerasain apa yang dulu pernah Bunda rasain," netranya yang sehitam jelaga memaku sang ayah dalam sandraan kelereng gelapnya. "Dulu, Bunda selalu repot kalau Abang sama Adek sakit. Nah, sekarang, biar hal itu jadi urusan Ayah, Bun. Hari ini, Lova baru aja menstruasi. Jadi, biarin Ayah yang pusing gimana caranya ngejaga dia, Bun."

Bukan sekadar ingin tinggal bersama, Oka juga tengah mempertimbangkan memberi ayahnya tanggung jawab mengurusi mereka.

"Bentar lagi kami gede, Bun. Yang artinya, kami bisa ngelakuin apa pun sendiri. Nah, sebelum waktu itu tiba, biarin Ayah tahu gimana rasanya direpotin sama kami berdua."

Karena Oka enggan menjadi lebih dewasa dari ini.

Ia tak mau menanggung beban seorang diri.

Jadi, ia putuskan mengajak serta sang ayah dalam dilema tumbuh kembang mereka ketika remaja.

"Dan Abang juga setuju kalau Bunda kerja di tempat Ayah," ucapnya lagi.

"Abang," Nada memanggil anaknya untuk mendapatkan atensi dari sang putra. "Abang boleh punya pendapat. Tapi, biarin Bunda yang ngambil keputusan, ya, Nak?" sergahnya cepat, sebelum Oka mencoba mempengaruhi dirinya dengan keinginan-keinginan anaknya itu. "Abang sama Adek bebas ngeluarin semua uneg-uneg yang kalian rasain. Tapi, keputusan akhir tetap milik Bunda."

Oka mengangguk mengerti. "Iya. Keputusan ada di tangan Bunda," tanggap Oka cepat. "Tapi, biarin Abang juga ngeluarin pendapat Abang sampai tuntas, ya, Bun?"

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now