Empat Puluh Empat

71.5K 4.9K 533
                                    

Yess, akhirnyaa kita sampai juga di akhir season ini hihihii

Tengkyuu yaang udah ngikutin akuu nangis bareng yaaaa. Ini tuh salah satu cerita fav akuu, krna cerita ini beneran genree akuu bgt hahahaa

Yaudah yaaa, Happy reading ...
Btw, part ini pnjaang lhooo

Mentari telah berganti.

Geliat manusia mulai terasa memenuhi bumi. Udara segar berlarian di cakrawala, dihirup rakus demi mengisi kekosongan paru-paru. Semesta, telah menyiapkan hari baru. Dan banyak semoga yang dipanjatkan tuk menggerus arus waktu. Walau nanti, kenyataan yang 'kan membentang, makhluk-makhluk panah pengisi dunia, tak lelah terus memanjat doa.

Dan sepagi ini, Anyelir Pratista sudah berada di depan unit apartemen Aksa. Buat laki-laki itu mendesah terang-terangan. Ransel di punggung yang berisi beberapa helai pakaian juga laptop, sontak ia turunkan.

"Kita perlu bicara, Sa," tanpa basa-basi Anyelir mencoba merangsek maju. Hanya tuk mendapatkan hadangan berupa rentangan tangan Aksa yang memblokir satu-satunya jalur keluar masuk huniannya. "Sa?"

"Kita bicara di luar," Aksa sedikit mendorong bahu Anyelir menggunakan tangannya. Lalu setelah itu, ia tutup pintu dan berdiri di lorong apartemen yang sunyi. "Ngobrol di bawah aja, Mbak," bukan penawaran. Sebab, Aksa telah terlebih dahulu melangkah menjauh.

"Kamu ini kenapa sih, Sa?" Anyelir enggan mengikuti laki-laki itu. Ia memilih melipat kedua tangannya di atas dada. Menatap Aksa dengan sorot tak terbaca, ia sudah bersusah-susah membelah pagi untuk tiba di tempat ini. Ia memiliki satu unit di tower ini juga, buatnya mudah mengakses apartemen Aksa yang berada tiga lantai di bawah apartemennya. "Kamu abaikan semua panggilan aku. Chat yang aku kirimkan sejak beberapa hari lalu, juga nggak pernah kamu buka. Mau kamu apa sih? Kamu benar-benar mau mutusin hubungan sama Adiva?"

Andai Anyelir laki-laki, mungkin sudah sejak lama Aksa mengumpatnya sampai binasa. Sayang sekali, wanita berbisa itu adalah ibu kandung dari keponakannya. Teman bermain favorit untuk kakaknya. Juga mantan menantu paling disayangi oleh ayahnya. Ck, menyebalkan sekali, ya, realita yang ada?

Kembali memasok oksigen memenuhi seluruh aliran darah, Aksa memejamkan mata sejenak sembari mengepalkan tangan kuat. Berharap, kesabaran yang ia pinta pada tubuhnya, berhasil membuatnya tak memuntahkan murka. "Silakan tanya susternya Adiva, Mbak. Kapan terakhir kali aku ngehubungi dia?" ia berhasil menekan amarah. Walau tak ada senyum dari bibirnya, Aksa merasa cukup lega pada dirinya karena tak kehilangan kendali menghadapi Anyelir yang tak tahu maunya apa. "Hubunganku sama Adiva baik-baik aja, Mbak. Aku video call dia siang kemarin. Aku dengerin dia nyanyi untuk pertunjukkan bulan di depan di sekolahnya. Jadi, sebelum Mbak repot-repot ke sini pagi-pagi. Lebih baik, Mbak tanya langsung ke suster—"

"Bukan itu maksudku!" sela Anyelir yang mendadak tampak geram.

Aksa segera mengerutkan keningnya. Anyelir jarang memperlihatkan kekalahan dalam pengolahan emosi. Dan sepagi ini, wanita itu tampak siap memuntahkan lahar amarah. "Lho, jadi apa, Mbak?" Anyelir dan keluarganya menginginkan hubungan yang lebih erat dari sekadar mantan suami sebagai gelarnya. Sayang sekali, Aksa sudah tak berniat berlakon di tengah-tengah pertunjukkan mereka. "Bukannya, hubungan di antara kita sekarang cuma tentang Adiva, ya?"

"Nggak," sanggah Anyelir cepat. Kepalanya menggeleng, mengusir kemelut resah luar biasa yang hinggap di sana. "Aku nggak mau hubungan kita cuma tentang Adiva," imbuhnya sambil menggigit bibir. "Aku nggak mau cuma karena Adiva aja, Sa."

"Maksudnya?" Aksa melihat keresahan itu dengan sangat baik.

Anyelir akhirnya melaju selangkah demi selangkah. Ia dekati Aksa yang kini telah berada di depan lift. Ia bersiap sepagi ini bukan tanpa alasan. Ia datang ke sini, bukan tanpa tujuan. Sudah tak mampu mengupayakan bantuan keluarga, Anyelir memilih maju sendiri. "Aku mau rujuk sama kamu," ucapnya tanpa peduli hal yang lain lagi. Rambutnya yang bergelombang ia biarkan tergerai. Kini, surai-surai itu telah terjalin di antara kelima jemari saat ia menyugarnya. "Kali ini, bukan demi Adiva, Sa. Bukan juga demi citra politik orangtua kita."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 08, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aksara SenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang