Empat Puluh

34.4K 5.6K 405
                                    

Yuk yuk yuk, biar cepett kelar yuk, biar aku bisa bikin cerita baru lagi di sini wkwkwk

Hapoy reading yaa beb

Nada tidak tahu sejak kapan tangannya dan tangan Aksa bertaut. Namun, ia sadar betul ketika dirinya sendiri yang mengeratkan genggaman tangan itu. Mereka melempar pandangan sesekali. Membiarkan netra mereka bertemu demi memberi dukungan satu sama lain. Di antara riuhnya suasana, Nada tak sekalipun ingin melepaskan genggaman.

Terlalu banyak mata asing menatapnya.

Terlalu banyak tatap penasaran yang mengarah.

Inilah yang tak ia suka bila berjalan bersama Aksa. Pria itu adalah penarik perhatian. Sementara Nada, menyukai bayangan sebagai tempat teraman. Sejak menjalin hubungan dulu, Nada tahu kepribadian mereka begitu bertolak belakang. Namun entah bagaimana, justru ia berhasil menumbuhkan cinta. Perasaan itu berkembang perlahan-lahan. Segala kekonyolan Aksa di masa lalu, nyatanya mampu buatnya bahagia.

Rupanya ada pembukaan panti asuhan serta rumah tahfiz untuk anak-anak yang ingin belajar membaca Al-quran. Panti asuhan itu sendiri adalah bangunan dua lantai seperti asrama. Tepat di sebelah bangunan tersebut, ada sebuah bangunan lain yang merupakan rumah tahfiz. Semuanya berdiri atas nama yayasan yang dimiliki oleh Nur Afifah Malik, istri dari Rangkuti Malik.

Para tamu yang diundang pun, bukan berasal dari kalangan biasa. Para pejabat daerah dan penggiat politik, meramaikan peresmiannya. Pemuka agama, tak lupa diundang juga. Beberapa sosialita serta selebriti tanah air pun ikut menghadiri peresmian yang mungkin petang nanti akan dimuat dalam berita daring di sosial media. Lalu keesokan harinya, bisa muncul di infotainment mengingat banyaknya pesohor dan wartawan yang sibuk meliput sedari tadi. Ada aula terbuka yang menjadi pembatas antara panti asuhan dengan rumah tahfiz, dan di sanalah para tamu di arahkan.

Sejujurnya, Nada mulai ragu melangkahkan kakinya semakin jauh. Ia ingin berhenti saja andai ia mampu. Tetapi, Aksa sudah terlanjur membawanya melaju. Mereka melewati banyak meja yang diisi oleh orang-orang penting. Nada tahu Aksa akan membawanya ke tempat terdepan. Demi Tuhan, ia mulai khawatir dengan keputusan Aksa membawanya ke sini. "Mas?"

"Kita sebentar aja kok di sini," Aksa membaca resah Nada dengan sangat baik. "Setor muka aja, biar nggak dipikir aku bolos," guraunya di tengah langkah mereka yang tak juga berhenti. "Oh, tapi kayaknya agak lama deh, Nad. Ada mami," ia menunjuk sebuah meja yang berada di barisan terdepan dengan dagu. "Mami pasti agak drama ketemu kamu di sini."

Nada tidak siap.

Demi Tuhan, ia tidak siap bertemu orangtua Aksa.

Sebab, tidak hanya mami yang ada di sana. Papi Aksa pun turut serta. Terlebih, Alvin sudah menangkap kedatangan mereka. Namun, tentu saja bukan tatap ramah yang dilayangkan laki-laki itu. Alvin langsung melengos begitu menyadari bahwa Aksa bersamanya.

Tak masalah.

Nada sudah terbiasa.

"Mi?"

Yashinta menoleh. Kerudung yang menggantung di kepala, mengikuti geraknya. Tak segera membalas sapaan sang putra. Yashinta mengerutkan kening sejenak, lalu matanya mengerjap demi meyakini bahwa visualisasi yang berada di sisi kiri putranya, bukanlah hasil dari imaji. Ketika bayangan yang ditangkap retinanya tak hilang setelah ia berkedip dua kali, Yashinta seketika saja berdiri. Wajahnya terlihat shock, namun hal tersebut tak berlangsung lama. Sebab setelahnya, senyumnya merekah indah. Pendar matanya melukiskan kesenangan. "Nada?" serunya gamang. Sebab, ia masih takut salah mengenali. Tetapi, saat wanita di sebelah putranya melengkungkan senyum, Yashinta tahu penglihatannya tak salah. "Ya, ampun ... Nada?"

Aksara SenadaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora