Dua Puluh Lima

37.5K 5.9K 188
                                    

Semesta itu punya tujuan. Walau realita yang digariskan tak selalu menyenangkan. Namun percayalah, hal itu bertujuan tuk mendewasakan. Sebab konsepnya, jalani meski pahit. Lalui meskipun sulit.

Simple, ya?

Tetapi percayalah, butuh tekad kuat agar tak mengeluhkan takdir yang sudah terlanjur digariskan.

Nada bukanlah remaja, atau pun wanita awal 20an. Usianya dewasa, berikut dengan pemikirannya. Sebelum menjadi istri seorang Aksara Bhumi, ia adalah gadis tangguh yang ditempah langsung oleh kehidupan. Justru, menikah dengan Aksa membuatnya merasakan seperti apa dimanja. Ia dicintai seolah-olah dirinyalah wanita paling berharga di dunia. Aksa mengentasnya dari rasa pesimis yang terlanjur mandarah daging. Walau setelahnya, pria itu juga yang mengempasnya hingga berkeping-keping.

Tak masalah, Nada berhasil melalui hari-hari yang pahit.

Jadi, ketika akhirnya ia nekat keluar dari zona nyamannya yang enggan melibatkan hati, Nada tahu hal-hal apa saja yang akan ia jumpai. Ia juga telah memperkirakan, bagaimana harus menyikapi semua.

"Ini Nada, Bu."

Senyum Nada terpatri tulus, ia menyalami wanita setengah baya dengan jilbab menutupi kepala. Mengenakan kebaya yang senada dengan keluarga pengantin, wanita yang usianya ia perkiraan sama dengan ibunya itu, melengkapi penampilannya yang rapi dengan kacamata yang tangkainya menghilang ditelan penutup kepalanya "Saya Nada, Bu," ia memperkenalkan diri dengan sopan.

Jujur, Nada tak memiliki ekspektasi apa-apa dengan perkenalan ini.

Namun, ia tahu bagaimana adab berbicara dengan orang yang lebih tua darinya.

"Bagaimana kabarnya, Bu? Sehat?"

"Alhamdulillah sehat," Ibu kandung Dirga itu menjawab singkat. Ia biasa dipanggil Widya. Dan kini yang ia lakukan adalah menatap putra sulungnya lamat-lamat. Lantas berganti pada wanita yang berdiri di sebelah sang putra. "Kayaknya Ibu pernah dengar yang namanya Nada ini diceritanya Dirga," ia coba menggali ingatan tuanya. "Tapi yang mana, ya? Kok Ibu lupa."

"Itu lho, Bu, yang anaknya sekolah di SDnya Mas Dirga."

Nada langsung mengarahkan atensi pada wanita seusianya yang mengenakan kebaya baby blue bercorak sama seperti yang dikenakan ibu Widya. Hatinya memang tidak terusik dengan perkataan itu, tetapi ia mengerti betul makna dibalik intonasi tersebut. "Iya, benar, Bu," tak akan ia ingkari keberadaan anak-anaknya. "Tapi kebetulan, sekarang anak-anak saya udah SMP."

"Lho, anaknya berapa, Nad?" tanya Bu Widya kaget. "Kalau sekarang udah SMP, berarti kamu nikahnya muda banget dulu, ya? Nggak kuliah?" pertanyaan itu meluncur tanpa sadar.

"Pertanyaan Mama itu, udah masuk ke ranah pribadi. Dan dalam kategori percakapan, pertanyaan Mama masuk ke golongan nggak sopan," Dirga menegur tegas.

"Nggak apa-apa kok, Mas," Nada menengahi. Sungguh, ia tidak merasa marah atau tersinggung. Hanya saja, ia terlampau malas menjelaskan tentang dirinya pada orang-orang yang jelas-jelas cuma ingin menilainya sebelah mata. Sebab itulah yang ia tangkap dari pertanyaan yang dilontarkan wanita setengah baya di depannya ini. "Iya, Bu, kebetulan dulu nikah muda. Saya juga sempat kuliah, tapi berhenti di tengah jalan."

"Karena udah duluan nikah?"

Itu sebuah tuduhan.

Sebenarnya, versi halus dari tuduhan hamil duluan.

"Nggak kok, Bu. Dulu, nikah sama ayahnya anak-anak, begitu beliau lulus S1. Saya dan mantan suami satu kampus. Tapi, di tengah-tengah semester lima, saya berhenti," ujarnya jujur. "Kalau Ibu tanya alasan kenapa saya berhenti, saya memilih menyimpan alasan itu sendiri, Bu," yang artinya ia enggan berbagi kisah hidupnya lagi dengan sosok di hadapannya ini. Terlebih, ia tak mau lagi berinteraksi dengan orang ini.

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now